Cerpen Alim Witjaksono
Pengamat dan penikmat sastra milenial Indonesia, menulis prosa dan esai di berbagai media nasional luring dan daring.
“Para hadirin sekalian,” demikian ceramah Kiai Rosyid yang disaksikan Anwar di layar teve, “kalian harus tenang dan sabar, karena di akhirat nanti akan ada bidadari-bidadari cantik yang mendampingi kita, kemudian kita semua akan menikmati kebahagiaan yang abadi.”
Anwar mengulang pernyataan penceramah itu dengan suara keras di hadapan Maimunah istrinya, hingga sang istri berseloroh lantang, “Saya kasihan melihat kamu hidup menderita di muka bumi ini!”
Selama beberapa bulan terakhir, Anwar terlihat rajin melakukan sembahyang, bahkan puasa Senin-Kamis untuk mempersiapkan kehidupan akhiratnya. Di malam hari, ia rajin membaca Quran, walaupun tak pernah mempelajari dan menelusuri arti yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, dengan kerajinan menjalankan aturan agama, Anwar memandang kehidupan dunia ini begitu keji dan jahat. Ketika menyaksikan tayangan-tayangan teve tentang maraknya pembegalan dan perampokan, ia semakin membenarkan keyakinannya, bahwa kehidupan yang tenang dan damai adalah di akhirat kelak.
Kini, di usianya yang ke 55 tahun, ia merasa telah mengenal perkara-perkara duniawi. Istrinya yang masih berumur 40-an mengingatkan, “Sekarang kamu sudah berumur setengah abad lebih. Barangkali sudah waktunya berjumpa dengan Imam Mahdi, atau bahkan dijemput oleh Malaikat Maut.”
Sindiran dari istrinya selalu tak dihiraukannya. Bagi Anwar, bukan waktunya lagi untuk melakukan percekcokan dan keributan yang membuat suasana gaduh seperti yang sudah-sudah. Ia seakan memutuskan, dengan sisa umurnya itu, ia telah kehabisan waktu untuk menumpuk-numpuk pahala dan ganjaran. Setiap kebaikan dan amal soleh, mulai saat ini, harus diperhatikan dengan cermat, bahkan diperhitungkan dengan pertimbangan untung rugi. Dengan menumpuk-numpuk amal soleh, seakan ia dapat memastikan ringannya timbangan amal buruk, hingga dapat memuluskan jalannya menyeberangi jembatan shiratul mustaqim.
Bidadari-bidadari cantik dan molek di surga seakan sudah menjadi jaminan yang akan mendampinya di alam surga kelak. Ia rela menjalankan puasa-puasa sunah untuk menempuh keyakinan itu. Selesai melakukan sembahyang, di atas sejadahnya ia membayangkan duduk di dipan-dipan perak dengan suguhan makanan-makanan lezat yang akan dinikmatinya bersama bidadari-bidadari cantik itu.
Hitung-hitungan spiritual itu telah menyita banyak waktunya sehari-hari. Pekerjan kantor sering diabaikannya, dan berkali-kali ia mendapat teguran dari atasannya. Maimunah istrinya, dianggap sudah habis masanya, bahkan ia merasa jijik atas segala kehidupan duniawi yang dianggap dapat menghalanginya menuju pintu keabadian.
Sarung dan kopiah selalu dikenakannya, tasbih juga menggantung di jari-jemarinya. Ketika istrinya menyuguhkan masakan, ia menikmati sedikit dan hanya beberapa sendok saja. Ia menganggap istrinya itu adalah bagian dari aksesoris dunia yang mencelakakan, hingga cenderung menatapnya dengan pandangan sinis dan curiga. Kini, badannya semakin kurus dan ceking, matanya kuyu, buram, dan kepalanya sering pusing.
Maimunah yang masih berusia 40-an lebih memikirkan hidupnya yang sekarang, ketimbang harus sibuk memikirkan masa lalu maupun masa yang akan datang. Sesekali ia mengajak suaminya bertandang di kediaman anaknya yang sudah berumah-tangga di wilayah Tanjung Priok, namun ia selalu menolaknya. Ia sudah memperkirakan, kalaupun menuruti kemauan istri dan anaknya, paling-paling mereka akan mengajaknya ke tempat rekrasi atau taman wisata yang justru membuat kepalanya semakin pusing tujuh keliling. Baginya, orang-orang yang berjalan lalu-lalang di sekitarnya tak ubahnya dengan setan-setan bergentayangan yang selalu menggoda dan mengganggu kehusyukannya dalam menjalankan ibadah.
“Kita ke bioskop yuk,” ajak istrinya ketika ia merasa suntuk di malam Minggu. Sang suami membalas ajakan istrinya dengan mata menyorot tajam. Ia tak mengucap sepatah kata pun, bahkan tak bertanya film apakah yang akan ditontonnya nanti. Ia hanya membayangkan segala sumpah-serapah, imoralitas dan ketelanjangan yang mungkin akan mereka saksikan melalui layar lebar. Bagi Anwar, dengan menuruti kehendak istrinya itu, betapa mahal ongkos yang harus dibayar untuk menebus dosa maksiat yang mungkin ditimpakan Tuhan kepadanya.
Betapa takut dan merinding tubuhnya, ketika mendengar ceramah Kiai Rosyid di layar teve, perihal dosa-dosa besar yang tak terampuni. Seketika, ia menuju kamar untuk menggelar sejadahnya. Istrinya menawarkan, seandainya Anwar tak mau ke mana-mana di malam Minggu itu, alangkah baiknya jika mereka berbaring di tempat tidur sambil bercinta kembali seperti yang dulu-dulu. Namun, sang suami menolaknya, seraya mengulang ucapan Sang Kiai di layar teve, bahwa di zaman dahulu umat Nabi Luth telah diluluh-lantakkan oleh karena kekejian dan kemaksiatan yang telah mereka lakukan.
“Selalu saja kamu menolak dengan alasan capek,” tegur Maimunah lagi. Istrinya itu barangkali sedang merasakan puber yang kedua atau ketiga kalinya. Usia empat dekade masih matang-matangnya sebagai perempuan yang mendambakan cinta dan belain mesra dari sang suami.
Anwar tetap bersikukuh, hingga memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan hidup barang satu atau dua hari, untuk bisa mmastikan dirinya berada di baris depan ketika memasuki pintu surga. Dia tak mau menghapus amal kebaikan dengan keburukan, dia juga tak mau meniadakan akhirat dengan kutukan-kutukan materi dan kebendaan. Dia paham belaka, bahwa dalam setiap perintah pasti ada larangan, dan dalam setiap ganjaran pasti ada hukuman.
Maimunah membeli daster yang terbuka dan transparan dari Pasar Tanah Abang. Ia mengenakannya dan berjalan mondar-mandir di sekitar rumah. Sikap apatis dari sang suami, membuat kepalanya sering terjangkit rasa pening dan pusing-pusing.
Di hari Jumat pagi, Anwar mengenakan baju koko dan sarung untuk bermunajat di atas sejadah, hingga menjelang azan Jumat tiba. Sering ia mendapat tugas untuk membacakan khutbah Jumat, sambil mengenakan sorban dan tongkat dI tangan, menganjurkan para hadirin agar senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Khutbah yang dibacakannya dengan bahasa Arab itu, membuat sebagian hadirin manggut-manggut, meski mereka tidak memahami arti yang terkandung di dalamnya.
Sepulang solat Jumat, Anwar menyempatkan diri menengok kuburan ayah dan keluarganya. Ia membacakan surat al-Fatihah di sekitar kuburan nenek-moyangnya, dan sesekali meneteskan air mata ketika mengingat masa-masa perselisihan dengan ayahnya dulu, berdebat sengit tentang agama, bahkan menuduh orang tuanya telah berbuat murtad dan segala-macam kesesatan.
Sesampainya di rumah, Maimunah menyeduhkan kopi ginseng, yang barangkali ada pengaruhnya terhadap libido dan daya tarik pada sang istri, akan tetapi si suami tetap menolaknya dengan alasan capek dan lelah.
Suatu ketika, Anwar hanya memakan nasi putih dan menolak chicken dan sop kambing yang disediakan istrinya. Ia mulai menyembelih ayamnya sendiri karena sama sekali tak percaya tukang daging. Ia bahkan mulai memasak sendiri, karena semakin tak percaya pada istrinya. Ia pergi ke pameran baju muslim, dan membeli baju koko dengan harga 500 ribu rupiah. Sementara, istrinya masih mengenakan daster dengan harga 60 ribu perak.
Lama kelamaan, Anwar bergabung dengan jamaah pengajian yang dipimpin Ustad Muntakim di kampung seberang. Setelah beberapa minggu bergabung, istrinya tak mau diajaknya ngomong. Ia hanya mau bicara dengan rekan-rekan satu jamaahnya. Kini, setiap pergi ke masjid, ia harus mengenakan seragam jamaah, sambil memelihara cambang dan jenggot yang semakin tumbuh di sekitar pipi dan dagunya.
Setelah berbulan-bulan bergabung dengan jamaah tabligh Ustad Muntakim, seakan istrinya tak lagi mengenali suaminya sendiri, dengan segala tabiat dan kebiasaan yang semakin tak lazim dalam pandangannya.
Hingga tibalah bulan Muharam pada tahun baru Islam, tersiar kabar yang disampaikan secara resmi oleh Menteri Pendidikan Agama RI, bahwa praktek ritual yang dilakukan oleh jamaah majlis Ustad Muntakim dinyatakan menyimpang dari ajaran-ajaran agama yang semestinya.
Keesokan harinya, di malam Minggu tiba-tiba Anwar menghampiri kamar Maimunah, seraya menepuk bahu istrinya sambil berbisik lembut: “Istri solehah yang melayani nafsu suaminya, akan disayang Allah dengan memperbanyak keturunan-keturunan yang soleh pula.”
Istrinya menatap pintu kamar dengan pandangan kosong. Akhirnya, ia pun berteriak sambil bersejingkat dari tempat tidur, “Sekarang aku minta cerai!”
“Jaga mulutmu itu! Allah tidak menyukai percerain, karena perceraian itu hukumnya makruh!” ancam Anwar.
“Aku tak mau punya suami seperti patung dn berhala.”
“He, jaga itu mulut! Dalam ajaran agama, suami itu tak bisa dipersalahkan, karena para istrilah yang akan menanggung dosanya!”
“Pokoknya, kita harus cerai, titik!”
Maimunah mengenakan kaos ketat berwarna abu-abu, celana panjang hitam, dan rambutnya dibiarkan tergerai hingga bahu. Ia mengamit kunci motor yang tergeletak di meja, membanting pintu keras-keras, kemudian segera meluncur ke rumah orang tuanya. (*)
Komentar