Di samping aku harus menepati janji, aku harus menjaga keseimbangan persahabatan antar-keluarga ini.
Tepat di bawah lembayung sore di atas rel kereta, tempat biasa kita berempat berkumpul, tiba-tiba Viola berbicara kepadaku bahwa hari ulang tahunnya tinggal beberapa hari lagi.
Selama perjalanan pulang pikiranku masih berjibaku memikirkan apa yang harus kuberi di hari ulang tahunnya, apakah harus buku-buku kesukaannya atau cokelat biasa layaknya teman-teman. Namun setelah sampai di depan rumahku, pikiranku sejenak terdiam, dan apa yang baru saja kulihat dan dengar adalah akar dari semuanya.
Kisahku dimulai dari pertama kalinya aku bertemu Viola. Dia gadis pendiam namun agak sedikit anggun. Sekilas dia akan terlihat garang, namun setelah kukenal perlahan ternyata dia gadis penyayang binatang, suka bergurau, dan lebih parahnya dia maniak buku.
Dia tak bisa hidup tanpa buku. Setiap hari dia bisa 5 sampai 10 buku yang dilahapnya habis. Sayangnya dia tak pernah punya banyak teman. Barangkali temannya adalah semua buku yang dia punya dalam perpustakaan pribadinya.
Awalnya aku segan, gegara auranya yang pendiam dan penuh karisma. Bahkan berkali-kali teman yang lain mencoba mengakrabinya, akhir usaha mereka hanya akan dipandang sinis olehnya. Untungnya dia punya sahabat sejati yang dipertemukan oleh masing-masing orang tua kita.
Di hari pertama masuk sekolah kita sudah dikasih tahu oleh masing-masing orang tua kita. “Nanti kau akan berteman dengan anaknya teman ibu ya,” ujar masing-masing ibu kita.
Entah apa yang telah terjadi di antara mereka, pada intinya mereka punya hubungan erat antara satu keluarga dengan yang lain.
Kami berempat dua laki-laki, dan sisanya perempuan. Umur kami relatif sama. Buktinya dari awal SMP kita sudah satu kelas.
Perkenalkan namaku Alex, dia Kevin dan Nia serta Viola. Kami sudah seperti satu keluarga. Buktinya setiap keluarga yang mengadakan acara, pasti masing-masing dari keluarga akan diundang, dan di situlah momen terbaik dari empat keluarga berkumpul yang tak punya ikatan darah, namun begitu erat layaknya saudara kandung.
Kedua orang tua kita bertemu di masa perkuliahan dulu, yang akhirnya mereka terus menjalin hubungan sampai berujung pernikahan, dan sampai pada akhirnya juga mereka punya anak dan mempertemukan kita yaitu anak-anaknya.
Dari masing-masing kami punya kecenderungan yang berbeda-beda. Jika Viola sudah kusebutkan di depan, karena dia yang paling spesial dalam hidupku, kendati demikian aku tak melupakan mereka bertiga. Soal teman tetap akan sama, namun soal asmara berbeda bukan?
***
“Kau mau beri dia apa, Lex?” tanya Kevin.
“Entah….”
“Kan dia hobi banget baca tuh, napa lo gak kasih dia buku aja?”
“Kalo buku, pikirku dia udah punya banyak, Vin.”
“Ya …lo kasih buku yang belom dia punyalah.”
“Ya udah deh, nanti gue coba intip di perpustakaannya.”
Dialog antara aku dan Kevin tepat di depan sekolah setelah bel berbunyi, sambil menunggu Nia dan Viola keluar dari kelas. Jadi walaupun kami satu sekolah, tapi kita jarang satu kelas. Paling sering aku sama Kevin, dan Nia dengan Viola, atau bahkan terpisah semua.
***
Mungkin saja Viola belum tahu perasaanku, apalagi Nia dan Kevin. Rasa ini begitu saja muncul saat pertama kali aku memandangnya, saat dia digandeng oleh ibunya diperkenalkan dengan aku; Alex.
“Kenalin ini Alex,” kata ibuku pada Viola.
“Eh ganteng banget Alex, ini Viola,” kata ibu Viola.
Mereka berdua sama-sama mengulurkan tangan kami berdua, tapi tangan satunya Viola tidak mau lepas dari bukunya. Dia memang sudah dari kecil suka baca, alias kutu buku, terus di susul ibu Kevin dan Nia.
Saat aku mulai tumbuh dewasa, aku terus mencoba memahami arti perasaan ini. Apakah apa yang kurasa sama dengan yang kini dirasa Viola, jawabannya sampai sekarang belum ketemu. Dia masih saja dengan yang dulu, buku dan buku, batinku jangan-jangan dia sudah tidak suka lagi sama cowok, kubuang jauh-jauh prasangka itu.
Dan ternyata di kisah ini ada dua cinta yang ternyata lama bersemi, namun belum pernah terlihat. Mereka berempat sama-sama memendamnya, hingga waktu yang akan menjawabnya.
Jika cintaku bersemi di hati Viola sedangkan hati Kevin di Nia, harusnya juga seperti itu. Semua berjalan lancar sesuai tatanannya, dan akan berhenti dan kacau, ketika sore itu setelah aku dengar Viola akan mengadakan ulang tahun dan ternyata akan dijodohkan dengan Kevin.
***
Aku tak pernah tahu soal janji orang tua kita, serta jodoh menjodohkan. Bagaimanapun sewaktu kecil dulu kami tak pernah dikasih tahu perihal ini.
“Jadi gimana apa waktunya sudah tepat?” tanya ayahku pada ayahnya Viola.
“Aku pikir kita harus membatalkan janji kita,” kata ibuku pelan.
“Tidak semudah itu. Kita gak mau terkena karma seperti kita dulu,” ujar ibu Viola.
“Ya udah kita akan sepakati ini, apa yang sudah kita janjikan akan kita tepati juga,” tegas ayah Viola.
Aku pun lewat tepat di depan mereka.
“Eh Alex dari mana saja kau, Lex?” tanya ibunya Nia.
“Dari rel biasa kumpul sama Kevin, Nia, dan Viola.”
Lantas aku segera masuk kamar, pikiranku melayang jauh, mataku pun mulai basah. Apa yang baru saja kudengar adalah petaka bagi aku sendiri.
Soal janji di keluarga kami memang bukan hal yang sepele. Orang tua kami selalu mengajari pentingnya menepati sebuah janji. Walaupun itu hanya memberi satu permen, kalo sudah janji tetap selamanya janji.
***
“La, kamu kalo dijodohin gimana?” Suatu malam saat aku di rumahnya, untuk mengintip buku yang belum dia beli.
“Ya mau gimana lagi, aku hanya bisa patuh sama orang tuaku.”
Matanya masih sama, menatap bukunya.
“Kalo janji kamu mesti tepati?”
“Maksudnya?” Matanya kini sudah menghadap mataku, penuh rasa penasaran.
“Kamu pernah berjanji, La? Kamu mau gak janji sama aku.”
“Janji apa?”
“Jadi……” Saat lidahku mau berkata, tiba-tiba ibu Viola datang membawa titipannya buat ibuku, saat itu juga aku salah meneruskannya. “….sahabatku selamanya.”
“Itu pasti, Lex.”
***
Soal janji itu, harusnya aku tak pernah mengucapkannya. Kesalahan di kisahku adalah dua janji yang seharusnya tak pernah terjadi. Janji Viola selamanya akan jadi sahabat, artinya dia tak akan pernah bisa jadi kekasihku. Kedua, janji orang tua kita berempat yang akan saling menjodohkan, sialnya aku dijodohkan dengan Nia, Kevin dengan Viola. Sialnya lagi ternyata Kevin juga menyukai Viola.
Benar-benar berat menghadapi kehidupan ini. Di samping aku harus menepati janji, aku harus menjaga keseimbangan persahabatan antar-keluarga ini.
****************
“Kamu tuh segalanya ….” lirih Viola sambil memeluk erat tubuhku.
“Aku enggak bakal bisa hidup tanpamu, Lex.”
“Enggak, Viola…kamu harus patuhi keinginan orang tuamu.”
“Aku enggak bisa, Lex.”
“Seharusnya aku lebih awal mengungkapkan ini, Vi..”
“Ini murni salahku membuat kamu menunggu.”
“Bukan, Lex…ini salahku.”
“Harusnya aku juga sadar, dari pertama kali bertemu aku sudah jatuh hati.”
“Kita harus perbaiki ini, Lex. Aku percaya denganmu aku bahagia.”
“Tapi kau tahu, Lex, aku terlalu egois denganmu, bahkan dengan diriku sendiri.”
“Enggak, Vi, kamu sudah menunjukkan yang terbaik untuk aku dan keluargamu.”
DORRRR..
Malam itu menjadi saksi bisu dari perjalanan kisah cinta Alex. Dia terpaksa bunuh diri. Dia merasa tuhannya tak pernah adil.
Dan suara sirene mulai berdatangan, lalu-lalang membuat Viola akhirnya mengangkat pestol dan ia arahkan ke dadanya sebagai bukti ia pun sangat mencintai Alex.
DORRR…
Hujan turun, sambil ikut mengantar darah mereka bedua ke ujung selokan. Semua orang pun terkaget-kaget, ternyata kekuatan cinta mampu meminta kematian agar datang lebih awal.
Oleh: Ahmad Reza Wibowo / Mahasiswa Jurusan Tafsir, tinggal di Mesir
Artikel sudah terbit di nalarpolitik.com
Komentar