Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Terhanyut aku akan nostalgi, saat kita sering luangkan waktu, nikmati bersama, suasana Jogja…(Kla Project, Yogyakarta).
Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata Jogja? Jogja itu kota budaya. Kota yang membikin kangen karena Jogja terbuat dari (kata) rindu. Jogja itu mistis “dijaga” oleh Nyi Roro Kidul. Jogja kota pelajar banyak kampus-kampus keren ada di Jogja. Jogja adalah ruang bertemunya orang-orang “intelektual”, Jogja memang istimewa.
Aku sama seperti denganmu, aku mengakui Jogja yang begitu menghipnotisku untuk selalu ke sana. Kota Jogja adalah kota yang paling ingin kudatangi dengan melintasi pulau Sulawesi setelah korona berlalu, maksudku karena Covid-19 sudah mulai menurun.
Akhirnya, aku ke Jogja lagi. Aku bisa pergi setelah aku mendapatkan suntikan vaksin kedua walau beberapa orang harus sampai vaksin ketiga (Booster) agar bisa bepergian ke mana saja. Untungnya, saat pergi, di bandara Hasanuddin, aku tidak perlu melakukan Rapid Test dengan Antibodi, Antigen atau dan PCR karena semua tes tadi sudah tidak diberlakukan lagi.
Terakhir kali aku naik pesawat dari Makassar ke Jogja untuk mengikuti suatu seminar Agama-agama di Salatiga, Jawa Tengah, Juli, 2019. Kini, awal Juni, 2022, aku dari Makassar ke Jogja.
Sebenarnya aku mau mengantarkan adik Ammoz ke Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur. Namun, kami ke Jogja dulu karena ingin melakukan banyak hal di Jogja. Ada beberapa agenda yang ingin kulakukan di Jogja, di antaranya ziarah ke makam Buya Ahmad Syafii yang baru meninggal, bedah bukuku Imam Lapeo, mengunjungi adik dan kakak di Jawa Tengah, sampai ke kampus almamater, Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM).
Namun, ketika aku di atas pesawat, konsentrasiku kacau. Walaupun adikku Ima yang tinggal di Jawa Tengah pernah berkata, “Mending naik pesawat daripada naik kapal laut karena deg-degannya naik pesawat cuma sejam daripada naik kapal yang bisa sampai seharian”. Tetapi, bagiku tetap saja naik pesawat buat nyawa langsung berada di ujung tanduk.
Ini mungkin kali pertama naik pesawat lagi atau karena singa besi terbang ini mengalami beberapa kali turbulensi ringan. Aku yang tidak takut ketinggian menjadi takut dan berdoa, “Tuhan, ketika aku sampai dengan selamat di Jogja, aku akan menyiarahi makam walimu.”
Alhamdulillah, kami tiba dengan selamat di Jogja. Saking bahagianya sudah sampai di Jogja, aku dan Ammoz tidak langsung ambil bagasi tetapi berswa foto di bandara baru Kulonprogo ini. Oh ya, ada yang lucu, ketika kami akan naik pesawat, petugas di pintu Gate keberangkatan meneriakkan “Kulonprogo, Kulonprogo, Kulonprogo…” bukan Jogja lagi.
Jogja, I’m coming…
Ketika sampai di Jogja, kami langsung disambut dengan warna-warni bangunannya penjual, warung makan di sepanjang jalan. Apalagi di dekat kost-kostan yang kusewa seminggu itu. Aku kost di sini, Gowok atas rekomendasi dua gadis Mandar yang lagi kuliah S2 di sini, Miftah dan Wiwi.
Oh ya, lanjut dengan warung makan tadi, ada bubur kacang hijau (burjo), jus, siomay, nasi campur, dan nasi padang. Kami langsung memilih makan nasi padang dengan ikan nila goreng, kami tidak terlalu suka rendang daging karena kami pemakan ikan. Menu kami malam itu sayur ubi, sambel hijau, kerupuk udang, dan es teh.
Daerah Gowok, tidak jauh jauh dari UIN Sunan kalijaga (UIN SUKA). Tapi jangan bertanya padaku kalau Gowok sebelah mananya UIN, Barat atau Timur, Selatan atau Utaranya, aku juga tidak mengerti arah mata angin itu, yang jelas Gowok lebih dekat dengan Janti, jalan raya poros yang menghubungkan Jogja dan Solo.
Hari-Hari Seru di Jogja
Hari pertama, Jumat, aku dan Ammoz ke UIN SUKA. Kami ke sana untuk menanyakan tes Toefl yang penyelenggaraannya bekerjasama dengan lembaga internasional. Namun, dari informasi staf pusat bahasa di sini mengatakan belum ada kerjasama lagi sejak Covid-19. Malah bapak staf ini menyarankan kami ke CILACS UII yang menyelenggarakan tes ini. Aku salut banget, beda institusi pendidikan namun saling mengetahui program masing-masing dan mendukung kegiatan di dunia pendidikan.
Kami pun ke CILACS, ternyata benar ada tapi katanya kami terlambat mendaftar untuk minggu ini. Namun, kami bisa mendaftar dan tesnya lewat online. Akhirnya kuputuskan untuk tes online saja dua minggu ke depan ketika aku berada di Polewali Mandar, Sulawesi Barat karena kami sedang tidak membawa laptop. Walaupun nanti ada panduan memasukkan aplikasi ke laptop pikirku bukan masalah yang berarti.
Kami pun ke makam seperti janjiku saat di pesawat, apalagi hari itu hari yang baik untuk berziarah. Kami menuju makam Syeh Maulana Magribi, dan makam Bela-belu di daerah Parangtritis, yang hanya beberapa meter dari pantai Parangtritis (Paris).
Malamnya, aku menemui sahabatku, Noy, sewaktu kami kuliah D2 Bina Wisata Bahasa Jepang dulu di PPKP UNY (sekarang kampusnya sudah tutup). Noy dan masnya menciptakan pisang goreng merek Vietnam. Pisang gorengnya rasanya unik, walau bentuknya tidak terlihat seperti pisang karena pisangnya sudah dihaluskankan dan dicampur dengan berbagai bahan makanan, rasanya enak sekali, “Enak Tenan”. Sukses buat mereka berdua.
Hari kedua, Sabtu, weekend, kantor tutup, dan hujan di pagi hari. Aku dan Ammoz pun memutuskan untuk ke salon saja yang dekat dari kost. Selain ingin beristirahat dengan pijat, lulur, dan sauna, kami pun mempercantik diri dengan totok wajah dan masker muka, me time ceritanya.
Malam harinya, malam minggu, kami ke kafe Libertaria milik teman kami yang berasal dari Mamuju, Sulawesi Barat, Maman Suratman. Maman, begitu panggilan akrabnya, menyambut kami dengan baik. Ia pun memberikan tiga buku keren buatku, dua di antaranya adalah tulisannya. Buku itu berjudul; Ahok dan Kemelut Pilkada Jakarta, Kesaksian Kisah Perlawanan Mahasiswa UTY, dan Alam Pikiran Libertarian Manifesto untuk Kebebasan oleh David Boaz.
Aku juga mempertanyakan, apakah aku bisa bedah buku Imam Lapeo di kafe ini. Dulu, di 2020, aku ingin melaunching buku di Jogja, tepatnya di kafe milik Maman, namun karena korona, tidak jadi. Maman menginyakan, kami akan kembali di malam Rabu.
Lalu, kami mencoba menu andalan di kafe ini, Bau Peapi, ikan masak khas Mandar. Kata Ammoz, rasanya seperti bertahun-tahun tidak makan ikan, ia menghabiskan bagiannya, dan bagianku begitu enaknya ikan masak ini. Tak heran, kecuali ikan, bahan-bahannya alami dikirim dari kampung kami, Mandar, Sulawesi Barat, seperti minyak Mandar asli, asam mangga, dan sebagainya.
Hari ketiga, Minggu. Dulu, ketika hari Minggu, aku selalu ke pasar Sunday Morning (Sunmor). Nah, hari ini kami mau jalan ke sana. Namun sayang Sunmor tutup. Saat kami ke lokasinya di sekitaran UGM dan tembus UNY tidak ada orang-orang yang ramai di suatu tempat perbelanjaan yang dadakan di jalan-jalan kampus.
Kami pun berjalan-jalan ke gerbang UGM dan berfoto-foto di sana. Namun, aku kaget, bangunan sekitar Kopma UGM, termasuk Kopma UGM sudah dihancurkan. Di sana terlihat kosong, hanya ada lapangan baru yang ditumbuhi rumput-rumput, dan ilalang-ilalang. Aku pun mengajak Ammoz untuk ke Mirota (Mie, Roti, dan Tahu) kampus, tempat belanja yang murah-meriah di Jogja.
Siangnya, aku dijemput teman, Lasti yang dulu sama-sama belajar di Sekolah Maarif angkatan tiga untuk berziarah ke makam Buya Ahmad Syafii Maarif. Beliau baru meninggal di Jogja, tanggal 27 Mei lalu. Aku pun mengajak Sam, adik kelas di CRCS yang kini jadi dosen di UIN Alauddin, Makassar. Kami pergi berempat, adikku Ammoz selalu ada bersama kami.
Kami pun mengunjungi ibu Nurkhalifah atau ibu Lip, istri Buya yang menyambut kami dengan ramah. Lalu kami juga ke warung nasi Padang, salah satu tempat petilasan buya Syafii makan siang yang tidak terlalu jauh dari rumah beliau.
Malamnya, karena masih agak sore, jam 19.00, aku dan Ammoz main ke mall Ambarukmo. Kami sempat menonton film yang berjudul Ngeri-ngeri Sedap, namun membuatku menangis mengingat aba (ayahku), ingat waktu merantau kuliah di Jogja. Cerita film ini tentang suatu keluarga di Medan yang di mana tiga anak laki-lakinya pergi merantau ke Bandung, Jakarta, dan Jogja.
Hari keempat, Senin, aku dan Ammoz ke kampus almamater, CRCS UGM yang terletak di gedung lengkung UGM. Kami ingin bertemu senior yang sudah mengendorse buku Imam Lapeoku. Senior itu telah menjadi ketua, direktur di sana, Samsul Maarif (Kak Anchu). Namun sebelumnya, aku mengantar Ammoz dulu untuk menanyakan informasi kuliah S2 ke fakultas Fisipol, jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK).
Ketika kami ke CRCS, kak Anchu sedang ada kegiatan di luar, beliau sedang tidak berada di tempat. Kami istirahat sebentar di masjid terapung Sekolah Pascasarjana. Kemudian memutuskan naik ke atas setelah janjian dengan Sam lagi yang juga mau ke CRCS. Di atas kami hanya bertemu dengan beberapa staf.
Kami sekaligus “main” ke jurusan S3, Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) kakak CRCS yang masih satu lantai di gedung lengkung, yaitu lantai tiga. Lalu kami naik ke lantai empat, di sana ada jurusan S3, Kajian Budaya dan Media, kami menanyakan beberapa hal pada stafnya.
Dari sini, kami ke Kopma UGM yang sudah terletak di Selokan Mataram. Di sana kami membeli beberapa cendera mata seperti gantungan kunci yang bertuliskan UGM dan beberapa totebag sebagai oleh-oleh. Ketika aku membayar di kasir, aku mendengar suara dari radio Swaragama. Radio milik UGM yang sering diisi oleh anak-anak, Mahasiswa UGM. Namun, ada salah satu radio, yaitu Gerenimo FM yang slogannya masih selalu terngiang-ngiang, “Love Jogja and You!”
Dari Kopma UGM, kami menuju Omah Steak dan Chicken di sekitar Sorowajan. Maksud kami, agar setelah makan malam, kami bisa bertemu dengan teman yang ada menginap di Gusdurian, Rahmat.
Dari Omah, kami mengandalkan map dari Google. Tak lama kemudian kami tiba di sana, Griya Gusdurian. Rahmat menjelaskan kepada kami jika di sana merupakan ruang di mana pemikiran-pemikiran Gus Dur didiskusikan dan diaplikasikan melalui kegiatan-kegiatan. Bukan hanya itu, di sana juga menjual buku-buku tentang Gus Dur, kaos, jaket, gantungan kunci, sampai songkok Gus Dur.
Hari kelima, Selasa, kami hanya beristirahat. Kami menunggu adik kami, Ima datang. Ima bersuamikan orang Magelang. Namun, mereka tinggal di Salatiga. Mereka datang bersama dua anaknya, keponakan kami yang masih kecil, Nasrul yang berumur lima tahun dan Vivi yang baru berumur dua tahun.
Siang itu, kami menyuguhkan soto ayam pada saudari kami yang baru datang. Penjual soto ayam itu nangkring di depan kost semenjak pagi tadi. Ammoz heran melihat sate-sate yang dijual di gerobak soto ayam itu. Sate usus yang unik baginya, karena di Sulawesi, kami memang tidak memakan usus ayam.
Malamnya, kami kafe Libertaria untuk melakukan bedah buku Imam Lapeo bersama teman-teman Sulawesi Barat di Jogja. Bukan hanya Mandar, teman-teman dari asrama Sulawesi Selatan juga ikut hadir dalam acara ini.
Hari keenam, Rabu, hari terakhir. Kami yang sudah memesan tiket via aplikasi tiket online untuk ke Pare. Kami harus meninggalkan Jogja. Rasanya singkat sekali kami berada di Jogja. Beberapa teman dan relasi yang tahu kami sedang di Jogja menulis pesan di Facebook (FB) untuk datang ke rumah mereka. Namun, kami belum memiliki waktu yang lebih lama. Ammoz harus segera ke Pare. Pagi itu, jam enam pagi, kami dari stasiun Lempuyangan menuju stasiun Jombang.
Kami punya banyak mimpi di Jogja, kami pasti akan segera kembali ke Jogja.
Oleh: Zuhriah / Alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Buya Ahmad Syafii Maarif III; asal Mandar, Sulawesi Barat.
Artikel ini sudah terbit di nalarpolitik.com
Komentar