Di atas trotoar kenangan membelukar
Menanti temu walau hanya sebentar
Sekadar mencabut rindu yang kekar
Sementara lampu jalan mulai mekar
Dalam dekapan sunyi yang pengap
Debu jalanan meniup kabar tak sedap
tentangmu yang rebah dalam lelap
Sementara hari makin gemerlap
Sayup kudengar kemacetan menderau
Suaranya begitu parau
Memanggil ingat akan raut kilau
Sementara aku makin galau
Saat mata menyala
Kupotret sepasang penyair
Melahap lezatnya kata
Sementara rindu meraba kota
Angkringan
Di bahu jalan kita pernah meneguk kenangan
Sambil menghitung segerobak rezeki
Kamu memesan secangkir masa depan dengan sesendok cerita
agar nasibmu tak kepahitan
Di kota yang istimewah kita pernah menyantap ilmu
katamu ilmu di kota ini murah meriah dengan menu beragam
Maka dengan rakus engkau melahap tak bersisa
Hingga kepalamu buncit kekenyangan
Waktu
Aku muak padamu
Sebab engkau selalu saja
Menghitung detak jantung
Mengeja setiap hembus nafas
Engkau membuat hidupku berangka
Dari nol menjadi entah
Semakin hari semakin gemuk
Akhirnya kembali menjadi kosong
Seperti api yang melahap
Kau hanguskan usia dengan membara
Hingga jadi debu yang pengap
Lalu berpaling ke tanah
Dan kau segera mengejekku
Katamu, “Dasar manusia rapuh!”
Yang disusun dari percikan abu
Takluk pada waktu yang ampuh
Oleh: Jetho Lawet / Mahasiswa Sanata Dharma
Artikel ini sudah publish di nalarpolitik.com
Komentar