Teh Siti tergopoh-gopoh menjinjing tangan kiri anak semata wayangnya yang baru menginjak kelas 3 SMP. Namanya Junet, meski di meja pendaftaran tercatat dengan nama Ahmad Junaidi. Gendutnya bukan main. Baru menginjak usia 16 konon berat badannya mencapai 95 kilogram.
Setelah pintu dibuka kontan Teh Siti menghambur ke dokter yang baru datang dan sedang beres-beres meja.
“Jadi begini, Dok, anak saya ini…,” ia lupa membiarkan anaknya yang masih di ambang pintu masuk. Pintu pun dibuka kembali lalu segara mengamit lengan Junet keras-keras. “Jadi, gara-garanya dia begadang sama orang-orang di gardu ronda. Tiba-tiba dia pulang ka imah lalu hees sampe jam dua siang. Maaf Dok, kalau bahasa Indonesia saya kurang bagus…”
“Nggak apa-apa, saya juga orang Sunda,” jawab Dokter.
“Udah gitu, pas dia bangun, dia memegang-megang perutnya karena mules…”
“Oya, ngomong-ngomong Ibu sudah ngambil nomor antrian belum?”
“Waduh, jadi harus ngambil nomor antrian dulu, ya Dok?”
“Iya, Ibu keluar dulu sebentar lalu mengambil nomor antrian, baru Ibu masuk bersama anak Ibu sesuai nomor urut antrian itu, ya?”
Keduanya keluar ruangan dengan lesu, dan setelah mengambil nomor antrian, tahu-tahu yang didapat adalah nomor 4.
“Nomor 1, silakan masuk!” teriak Dokter dari dalam.
Teh Siti dan Junet duduk di kursi panjang. Sang Ibu memperhatikan anaknya dengan prihatin. Junet meringis-ringis memegang perutnya yang buncit, dan seperti merasakan beban berat di dalam lambungnya.
“Masih sakit, Net?” tanya ibunya.
“Iya atuh… kenapa Ibu tadi nyelonong wae? Nggak ngambil nomor dulu?” kesal Junet.
“Ya udah, sabar saja, Ibu sudah mengikuti aturan sekarang.”
“Tapi dapet nomor 4 kan?” teriak Junet.
Orang-orang melirik ke arah dua ibu-anak itu. Untuk menetralisasi keadaan, Teh Siti berusaha menerangkan kondisi anaknya itu. “Maaf Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak saya ini merasa mules atau semacam keram di perutnya, entahlah saya kurang ngerti bahasa kedokteran. Jadi, sejak kemarin dia memegang-megang perut terus… setelah semalam penuh dia begadang bersama orang-orang ronda di pertigaan…”
Akhirnya, semudah membalikkan telapak tangan, tiba-tiba antrian nomor 2 berbaik hati minta ditukar nomornya dengan nomor 4, sehingga dalam tempo sesingkat-singkatnya, setelah kelar urusan pasien nomor 1, maka masuklah kedua ibu-anak itu.
“Ibu antrian nomor 2, benar?”
“Benar, Dok.”
“Kalau begitu, silakan duduk, lalu anak ibu duduk berhadapan dengan saya.”
“Ahmad Junaidi,” Dokter itu membaca secarik kertas. “Kenapa dengan perutnya? Ayo, ikut Dokter ke ruang sebelah…”
Teh Siti menunggu dengan perasaan takut dan waswas. Ketakutan itu menjadi beralasan ketika Dokter menjelaskan seluk-beluk penyakit Junet yang tidak seberapa berat tetapi langka.
“Apakah sejenis virus, Dok?”
“Ibu tenang dulu, nanti akan saya jelaskan…”
“Apakah sejenis Covid itu?”
“Bukan, nanti akan saya jelaskan.”
Setelah ibu-anak itu duduk berdampingan, Dokter pun menjelaskan dengan seksama. Sambil wajahnya menghadap ke arah Teh Siti ia berkata sengan suara agak berbisik: “Anak ibu ini menderita semacam pembengkakan di sekitar usus besar hingga anus, hingga sulit mengeluarkan gas dari lambung, padahal gas itu sudah menumpuk sejak kemarin malam. Ibu sendiri tahu apa yang banyak dia konsumsi sepanjang malam di gardu ronda itu…”
“Dia bersama teman-temannya menghabiskan dua kerat minuman Seplit sama Cola Cola itu, entahlah saya tidak kenal merk-merk minuman.”
“Nah, itu dia yang membuat perutnya kesakitan, karena gas itu harus keluar melalui anus.”
“Lalu, jalan keluar terbaiknya apa, Dok?”
“Dia harus kentut.”
“Ha? Apa, Dok? Apakah itu jalan keluar paling baik?”
“Ya, saya akan berikan obat-obatan untuk radang usus maupun anus, tapi dengan syarat anak Ibu harus kentut dulu.”
Tak lama kemudian, Dokter memerintahkan sang Ibu keluar dari ruangan. Sementara Dokter dibantu oleh dua perawat mempersiapkan beberapa alat yang bisa menghubungkan alam perut yang gelap gulita, dengan alam nyata yang terang benderang.
Menunggu… menunggu… dengan rasa cemas, tiba-tiba terdengar suara: “Sreeet!”
Teh Siti segera melompat mengamit engsel pintu dan masuk. “Sudah kentut, kan, Dok?”
“Ibu tolong sabar dulu, keluar dulu. Tadi itu suara kursi yang saya geser.”
“Astaghfirullah al-adzim….”
***
Di ruang tunggu, para pasien yang antri sudah cukup ramai. Lebih menghebohkan lagi, ketika orang-orang tak tahankan diri cekikikan gara-gara mendengar doa yang dikumandangkan Teh Siti di kursinya sambil meneteskan air mata, “Ya Allah… pang kentut keun….”
Karena sebagian besar pasien itu dari kalangan orang Sunda tentu saja mereka paham apa-apa yang dipanjatkan ibu itu bagi kesehatan anaknya. “Saya mohon bapak-bapak, ibu-ibu yang ada di sini, kita ini sama-sama urang Sunda, tolong bapak-ibu ikut mendoakan bagi kesehatan anak saya di dalam. Dia itu anak saya satu-satunya. Bapaknya meninggal waktu dia masih TK. Jadi, sejak itu saya mengasuh dan membesarkan dia sendirian. Kalau sampai Tuhan mengambil juga, masya Allah…”
Seorang gadis dari generasi milenial, dengan nomor urut 9, memberanikan diri angkat bicara, “Emangnya anak Teteh sakit apa?”
“Dia gak bisa kentut, Dik?”
Teman di sebelahnya tertawa cekikikan, tapi segera diperingatkan temannya agar diam. “Maksudnya, dia gak bisa kentut, bagaimana, Teh?”
“Gak ngerti saya juga, tapi kata Dokter jalan terbaik agar dia cepat sembuh dia harus kentut dulu.”
Macam-macam reaksi puluhan pasien yang sedang menunggu antrian. Ada yang tertawa cekikikan. Ada yang saling menatap teman di sebeahnya dengan penuh tanda tanya. Ada juga yang berempati cukup serius, karena ia sedikitnya paham tentang ilmu kedokteran.
“Kalau begitu,” kata gadis milenial nomor urut 9 tadi, “Bapak-bapak dan ibu-ibu yang ada di sini, dimohon partisipasinya untuk ikut-serta mendoakan anak Teteh ini agar cepat sembuh, dengan doa yang dipimpin oleh Teteh sendiri, silakan, Teh…”
Dengan rasa kikuk dan cemas, karena baru kali ini dalam sepanjang sejarah hidupnya, Teh Siti menghadap puluhan orang sambil mengumandangkan doa keras-keras: “Ya Allah… pang kentut keun anak saya, ya Allah….”
Serentak orang-orang menyambut: “Amiiiin!”
***
Agak sedikit lama dari tak lama kemudian,, tiba-tiba terdengar suara aneh membahana: “Brut! Prepeeet! Brot!!!”
Para pasien yang menunggu saling bertanya-tanya, suara apakah gerangan. Tetapi, mendengar sumber suara dari dalam ruangan Dokter, sepertinya mereka lega melihat Teh Siti senyum-senyum dikulum. Kepala Dokter menyembul sedikit dari tingkapan pintu yang sedikit terbuka seraya menyuruh Teh Siti masuk.
“Subhanallah tabarakallah, terimakasih atas kentutnya, ya Allah…,” dengan suaranya yang melengking seraya sujud syukur di hadapan puluhan pasien yang sabar menunggu. Tiba-tiba sang gadis dengan nomor urut 9 bersama teman-temannya ikut juga sujud syukur, hingga akhirnya banyak orang yang turut serta sujud syukur, dengan motif dan kepentingannya masing-masing.
Seketika Teh Siti langsung menghambur ke dalam, menggoyang-goyang kedua lengan Dokter sambil katanya memastikan, “Benar kan tadi, Dok?”
Dengan agak kikuk Dokter membalas, “Benar apanya, Bu?”
“Suara kentut anak saya?”
“Iya, benar.”
“Serius, Dok?”
“Iya, serius.”
Kontan ia memeluk Dokter keras-keras, lalu segera insaf dan kembali sujud syukur di hadapan sang Dokter: “Alhamdulillah wasyukrulillah… terimakasih ya, Allah, atas anugerah kentutnya….”
Di antara puluhan pasien yang mengantre itu, ternyata ada seorang Ustad mengenakan kopiah dan sorban yang duduk di pojokan, dengan nomor urut 13. Ustad itu tiba-tiba ingin keluar dari antrean dan meninggalkan ruang tunggu. Orang-orang semula menaruh curiga dan berprasangka buruk, tetapi dengan jiwa besarnya Ustad itu pamit dengan baik-baik kepada puluhan pasien:
“Mohon maaf, bapak-bapak, ibu-ibu dan adik-adik sekalian, saya mau pulang bukan karena saya ingin keluar dari antrean ini, tetapi setelah mengamini doa yang dipanjatkan Teteh tadi, migran saya yang kumat selama dua hari ini, tiba-tiba menghilang entah ke mana. Sekarang kepala saya enteng dan tidak migran lagi, dan saya pun akan meneladani cara-cara berdoa yang lebih simpel, sederhana dan mengenai sasaran langsung antara si peminta dengan Rabb Sang Pemberi.”
Sebelum nomor urut 2 usai, Dokter memerintahkan Junet agar jangan lagi-lagi mengonsumsi minuman soda secara berlebihan. Sambil memberi secarik kertas kepada ibu Junet agar menebus obat di apotek sebelah, Dokter pun memperingatkan sang Ibu jangan membiarkan anaknya sering-sering begadang di gardu ronda, khawatir akan terbawa pergaulan yang kurang menguntungkan.
Setelah keluar dari ruang Dokter, orang-orang di ruang tunggu menatap Junet sambil tertawa terbahak-bahak.
Seketika itu Junet bertanya pada ibunya, “Kenapa mereka tertawa, Bu?”
“Sudahlah, ceritanya panjang, ayo kita ke apotek dulu…”
***
Sama sekali saya tidak bermaksud mengakhiri cerita ini dengan kisah cinta, apalagi memulainya. Tapi apa boleh buat. Tuh lihat. Sang Ustad yang masih bujangan, dengan nomor urut 13 tadi, entah disengaja atau tidak, tahu-tahu naik angkot yang sama dinaiki Teh Siti dan Junet anaknya.
Melihat Junet yang duduk di sebelah ibunya, ia tak kuasa menahan diri. Pecah lagi tawanya, hingga sang sopir terheran-heran dibuatnya. Sementara Teh Siti senyam-senyum sambil menutup bibirnya dengan telapak tangan. Untung hanya mereka bertiga yang menaiki angkot tersebut.
“Pak Ustad, bukannya sedang menunggu antrean?” tanya Teh Siti.
“Saya sudah tidak sakit lagi sekarang,” katanya sambil tertawa.
“Lho? Jadi, Pak Ustad pulang?”
“Ya, saya sudah pamit pada semuanya tadi.”
Teh Siti melihat adanya keakraban pada siratan mata lawan bicaranya, kemudian ia pun merasa leluasa untuk berbincang-bincang lebih jauh.
“Tadi setelah saya ngobrol-ngobrol sebentar dengan Dokter, ternyata masalah kesehatan tubuh manusia itu sederhana saja, ya?”
“Sederhana bagaimana, Teh?” tanya Ustad yang masih bujangan.
“Maksud saya, setelah saya menyerap banyak ilmu dari Dokter tadi, bahwa perkara sehat atau sakit itu tergantung pada sumbatan-sumbatan…”
“Sumbatan apanya, Teh?” tanya sang Ustad makin tak mengerti.
Keduanya terdiam dua jenak. Tiba-tiba sang sopir tak tahankan diri untuk tidak berkomentar: “Jadi maksudnya begini Pak Ustad, seandainya Pak Ustad punya perkutut di rumah, ketika sang perkutut itu lapar, maka Pak Ustad wajib memberinya makan, bukan begitu, Teh?”
Teh Siti tertawa cekikikan, tapi Pak Ustad masih terbengong-bengong sambil menerka apa maksudnya. Tak berapa lama, Teh Siti nyerocos lagi, “Kalau perkututnya Pak Sopir, dikasih makan terus ya, tiap malam?”
“Waduh, boro-boro, Teh, kalau pasaran lagi sepi, penumpang langka begini, sementara harga BBM naik terus. Begitu juga pakan perkutut akan naik terus sesuai dengan kenaikan harga BBM, bagaimana ini?”
Teh Siti tertawa cekikikan lagi. Junet merasa kesal, seraya menepuk lengan ibunya keras-keras: “Ibu ini ngobrol apaan, sih? Tuh, kasian Pak Ustad melongo aja dari tadi…”
“Maaf, Pak Ustad, maaf ya… tidak jarang saya temukan sopir angkot yang gila seperti Bapak ini.”
“Hahaha…!” sang sopir pun tertawa terbahak-bahak.
Sebelum turun di perempatan jalan, Pak Ustad pun minta nomor HP Teh Siti, dan berjanji akan jumpa di rumahnya nanti.
Selang dua hari kemudian, mereka pun berjumpa. Kemudian, menjalin hubungan lebih erat dalam ikatan perjanjian, suatu ikatan pernikahan yang hanya mungkin dipertemukan oleh cinta dan… kentut! ***
Oleh: Supadilah Iskandar
Penulis adalah Peneliti dan pengamat sastra mutakhir Indonesia, menulis prosa dan esai di berbagai media nasional, luring dan daring.
Komentar