oleh

Guru Hebat Jangan Dibebat

Pemberitaan tentang perlakuan keji terhadap guru tak pernah habisnya. Misalnya siswa terhadap guru, orang tua dengan guru atau antarguru. Dan lebih miris perlakukan kepala sekolah terhadap gurunya sendiri. Kadang penyebab perlakuan ini tidak bisa dinalar dengan akal sehat. Tentu akal sehat seorang guru umumnya. Dari warta-warta ini, profesi guru kadang dilihat dengan sebelah mata. Lalu mestikah guru tetap berdiam diri sambil meratapi nasibnya?

Meratapi nasib guru belumlah tuntas. Organiasi berlabel guru yang kemudian diwadahi PGRI sedang dan selalu memperjuangkan nasib guru. Apakah nasib guru sangatlah miris? Tentu bukan soal itu. Banyak hal yang mesti disuarakan tentang guru, soal guru profesional yang menjadi tuntutan jaman, dan juga tidak kalah penting nasib guru dan kehidupannya. Atau bisa dikatakan soal nasib dan nasi. Berapa kinerja PGRI yang patut dicatat semisal mengusulkan kenaikan gaji pada tahun 1999 kepada Presiden, dan hasilnya gaji PNS naik Rp155.250,- tahun 2000.

Atau PGRI mengusulkan tunjangan pendidikan bagi guru, hasilnya tunjangan fungsional guru naik 150 persen, mengusulkan honor guru wiyata bakti, hasilnya guru wiyata bakti baik di sekolah negeri maupun swasta mendapat tunjangan dari pemerintah sebesar Rp75.000,- per bulan. PGRI juga mengawal dan mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Guru sesuai dengan amanat UU GD (Undang-undang Guru dan Dosen), hingga terbitlah Permendiknas Nomor 18/2007 tentang pelaksanaan sertifikasi guru.

PGRI selama ini menjadi mitra aktif, strategis dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan, terutama yang terkait dengan kebijakan tentang guru.

Mengawal agar pelaksanaan sertifikasi guru tidak menciderai kepentingan guru di dalam berkarya dan memperoleh hak-haknya.

Kita ingat, perjuangan yang paling hangat dan merupakan kemenangan PGRI adalah lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 026/PUU/III/2005 yang menetapkan batas tertinggi dalam APBN tahun 2006 sebesar 9,1 persen untuk pendidikan tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan bertentangan dengan pasal 31 UUD 1945. Sungguh PGRI sebagai wadah para guru tidak tinggal diam memperjuangan nasib guru.

Ketika hendak berproses menuju guru profesional dengan lilitan kurikulum yang selalu berganti baju, keberadaan guru kadang diperlakukan secara semena-mena. Guru dipukul siswa, guru dianiaya, dan bahkan diperlakukan sebagai seorang penjahat yang mesti dihadapkan ke pihak berwajib. Sungguh miris nasib guru yang semsetinya dijunjung karena tugas kemanusiaannya. Tugas memanusiakan manusia memang menjadi tugas semua kalangan, tetapi harus diakui kadar memanusiakan manusia itu lebih kepada tugas seorang guru.

Adrea Hirata dalam novelnya Laskar Pelangi melihat guru secara filosofis. Ia mengatakan Guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka sehingga kita pandai membaca dan menghitung. Hal itu berarti pula bahwa guru sebagai pendidik dan pengajar menghantar siswa dari kegelapan kepada pencerahan. Dan kerja itu terukur, berdasarkan kurikulum.

Belum lagi dengan kadar inovatif dan kreativitasnya, guru mampu mengeksplorasi bakat dan kemampuan setiap peserta didik. Tanpa guru, sangat boleh jadi seorang anak manusia hanya memiliki napas untuk bertahan hidup. Selebihnya siap-siap untuk menghabiskan sisa hidup. Dampak sosial seperti pengangguran, kriminal, kemiskinan, kenakalan remaja, akan berdampak dalam kehidupan bersama.

Jika karena tidak bersekolah seseorang mesti tetap tenggelam dalam lumpur kebodohan? Pengalaman masa silam mengajarkan, jika karena kebodohan kita ditindas penjajah itu berarti pula warga bangsa ini mesti memerangi kebodohan. Pada aras ini, guru menjadi garda terdepan, penghalau kegelapan itu, dan penuntun generasi bangsa.

Menghadirkan profil guru masa kini sebenarnya mengedepankan sosok guru yang selalu meng-upgrade segenap kemampuan sesuai perkembangan zaman. Guru sendiri sebagai diatur dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal misalnya menjelaskan Guru adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik atau siswa pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Guru profesional akan menghadirkan kepribadian yang terkait dengan empat kompetensi yang harus dimiliki seorang pengajar. Empat kompetensi itu berpadu secara utuh, yaitu kompetensi kepribadian, pedagogik, sosial, dan tentunya profesional. Dengan demikian, maka penting bagi seroang guru meningkatkan kompetensi diri sehingga dapat mempertahankan kredibilitas sebagai guru profesional.

Dalam konteks masa kini, penguasaan terhadap hal baru dan tetap mempertahankan karakter bangsa yang didasari Pancasila yang tercermin dalam perilaku seorang guru akan menginspirasi para peserta didiknya. Guru cerdas, kreatif, inovatif, berbudi luhur, serta berakhlak mulia akan menjadi role model atau teladan bagi siswa. Guru seperti ini adalah guru yang menyadari profesinya sebagai pendidik sehingga melahirkan sosok pendidik yang mampu menjadi teladan bagi peserta didiknya. Itulah sosok guru masa kini.

Jangan lupa, guru masa kini adalah guru yang juga mengilhami falsafah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. Semboyan yang menjadi fondasi Pendidikan Indonesia. Semboyan yang telah ada sejalan dengan berdirinya Taman Siswa tahun 1922. Namun, semboyan itu tetap relevan jika dikaitkan dengan dunia pendidikan saat ini, di era revolusi industri 4.0. Sebuah era transformasi yang komprehensif yang menyelimuti keseluruhan aspek produksi dari industri lewat peleburan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional.

Ruang literasi untuk guru?

Betapa guru mengemban tugas perubahan tetapi juga harus profesional. Karenanya, profesi ini mesti dijunjung kredibilitas dengan tidak mengabaikan segala hal yang berhubungan dengan hak-haknya. Karena sesungguhnya, ketika mengemban amanah sebagai seorang guru profsional ia telah mengemban kewajibannya. Namun demikian, riak-riak kecil yang kadang membebat guru, mesti dieliminasi. Berbagai regulasi tentang kewajiban guru sepertinya memeras keringat guru.

Kewajiban-kewajiban adminsitratif seoang guru, tanpa disadari mengebiri daya kreasi dan inovatif guru. Guru hampir berkutat dengan sejumlah administrasi pendidikan. Sebuah kewajiban yang kemudian menyita seluruh waktunya. Memang itu adalah tuntutan, tetapi tuntutan administrasi yang mesti memberi ruang kreatif. Sejauh ini belum terlihat ruang itu.

Katakanlah salah satu administrasi pembelajar bagi guru profesional adalah guru wajib membuat resume dari beberapa buku. Pada aras ini, sebenarnya guru menjadi role model literasi maka gema Gerakan Literasi Sekolah (GLS) akan menyentuh tujuannya. GLS tidak sekedar himbauan dan kemudian mubazir, tetapi guru sendiri senantiasa tergerak, bergerak dan menggerakkan.

Jika literasi menjadi bagian dari kewajiban seorang guru, niscara Gerakan Literasi Nasional (GLN) melalui GLS sungguh terwujud. Di tepiannya, guru hebat pun terbentuk.

Salam Literasi

 

Oleh: Joni Y Liwu 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *