Bagi keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Afifuddin Muhajir adalah sosok yang sangat dihormati. Saya sangat beruntung bisa duduk satu meja dan berfoto di samping beliau. Kyai Afif adalah Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Penampilan Pak Kyai, sangat lembut dan santun. Dengan tenang, sambil mendengarkan diskusi, beliau mencatat dan saya perhatikan menulis dengan tulisan Arab.
Dengan takjub, saya menyimak paparan para intelektual muda NU tentang kajian fiqih terkait energi, lingkungan, infrastruktur, keadilan ekonomi, crowdfunding, dll. Para audiens yang berasal dari berbagai pesantren, juga menanggapi dengan kritis. Saya sangat menikmati “tamasya intelektual dan filsafat”, dengan kontekstualisasi (hermeneutika) persoalan empirik kekinian dan masa depan, di dalam ruangan.
Paparan kajian pemikiran teologis konteks persoalan kekinian tetap diuji, benar-benar membuat landasan sangat kokoh. Tidak bisa di dalam ruangan itu, hanya memetik satu ayat lalu merasa paling benar dan paling hebat. Akar pemikiran, konteks atau referensi dari berbagai ayat lain, akan selalu menjadi bahan ujian tentang sahih tidaknya hal itu. Wow, begitu dalam dan luas cakrawala teologis maupun pemikiran.
Sebagai orang awam, saya berusaha intens berkontribusi. Pemikiran saya terus mengembara. Bacaan-bacaan filsafat, tiba-tiba bertebaran kembali. Dan saya begitu teringat dengan pemikiran John Rawls tentang teori keadilan. Justice as fairness. Pemikiran keadilan Rawls seperti raksasa di filsafat keadilan. Pemikiran keadilan Rawls selalu menjadi landasan berpikir saya, bila berada dalam dilema opsi kebijakan. Saya benar-benar tidak mengira, bila digali ternyata pemikiran keadilan Rawls telah dipikirkan jauh sebelumnya.
Dan yang paling membuat takjub, kembali ke Kyai Afif. Pak Kyai menyampaikan pemikiran di akhir acara menanggapi semuanya. Saya benar-benar tidak mengira bila Pak Kyai yang sudah “sepuh” (berumur), beliau ternyata memahami perkembangan digital ekonomi. Dengan tenang beliau menyampaikan pandangannya tentang marketplace, crowdfunding ataupun digital finance.
Beliau juga sangat memahami, kerusakan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim ataupun ancaman gunung es mencair yang akan menenggelamkan banyak pulau/daratan. Secara tegas beliau sampaikan, merusak lingkungan (di samping korupsi) adalah kejahatan terbesar manusia.
Dalam bahasa berbeda, dengan semangat sama, saya pernah membaca transkrip Paus Fransiskus di Sidang Umum PBB saat disepakatinya Sustainable Development Goals (SDGs). Pimpinan Umat Katolik dunia itu mengatakan hak manusia terhadap lingkungan. Lalu dengan tegas menyampaikan, melukai lingkungan adalah melukai kemanusiaan.
Saya rasa, pemikiran-pemikiran itu sangat benar. Lingkungan adalah tempat kita semua hidup. Bila kita merusak lingkungan, maka kita juga merusak kehidupan. Bila kita membaca laporan panel antarpemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) terakhir, maka masa depan bumi seperti di tepi jurang. Bila Anda punya anak, keponakan, cucu atau masih muda, mereka/Anda akan mengalami masa depan kelam dalam episode sejarah manusia. Dengan catatan, bila persoalan kerusakan lingkungan tak segera diatasi.
Daya tampung bumi untuk mendukung kehidupan manusia, segera terlampaui karena populasi yang makin besar. Ulah manusia merusak lingkungan, juga mempercepat proses itu. Pemanasan global membuat banjir dan kekeringan datang silih berganti. Krisis pangan, air dan energi, makin nyata ke depan.
India dan Pakistan pecah rekor! Beberapa wilayah, panasnya kini menembus 50 derajat. Gagal panen dan krisis air, kini dihadapi. Siberia daerah yang dikenal dingin, barusan mengalami kebakaran hutan terburuk sepanjang sejarah manusia modern. Eropa Barat juga telah mengalami banjir bandang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sinyal-sinyal krisis kemanusiaan dahsyat, sudah sangat nyata.
Saya kok merasa, manusia sekarang seperti fenomena kodok rebus dengan air yang dipanaskan pelan-pelan. Begitu pelannya kenaikan panas air, kodok selalu mampu menyesuaikan diri. Namun pada akhirnya, ketika panas air tak mampu ditanggung akibat sudah mendidih, kodok pun mati terebus.
Keputusan saya menghanguskan tiket pesawat dari Surabaya ke Yogyakarta, sangatlah tepat. Diskusi yang begitu dalam, tidaklah ternilai dibandingkan mengganti tiket hangus. Akhir bulan, saya juga diminta mengisi acara di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), institusi ini bisa dikatakan representasi (rohaniwan) Katolik seluruh Indonesia. Saya sangat berharap para rohaniwan menggerakkan umatnya dalam praksis, aktif berkontribusi dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang menjadi kerangka aksi bersama secara global.
Sahabat saya intelektual muda NU Falik Isbah yang kini mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM), merekomendasikan saya membaca buku Feeling Threatened (Merasa Terancam). Meskipun secara umum keberagaman dan toleransi Indonesia lebih baik dibandingkan banyak negara lain, namun ada riak pula yang menghambat. Riak itu adalah merasa saling terancam. Antar umat beragama di Indonesia, seringkali saling mencurigai satu sama lain. Inilah yang menghambat.
Ketika saya kuliah dulu, kami mendirikan Lembaga Lintas SARA. Dari namanya saja kita sudah tahu, lembaga ini anggotanya dari berbagai suku, agama dan golongan. Kami membuat berbagai kegiatan yang memfasilitasi pertemuan lintas SARA di kalangan muda. Diantara kami di Lembaga Lintas SARA, kami bahkan sudah sering saling meledek bercanda satu sama lain, tanpa ada rasa tersinggung, bahkan sering mentertawakan diri sendiri.
Menurut saya, untuk mengatasi rasa saling terancam maka justru kita mesti “berani” keluar dari zona nyaman hanya berkomunikasi dengan agama (atau suku, golongan, kelompok) kita sendiri. Dari perjumpaan itu maka berbagai stereotype, kecurigaan dan persepsi negatif sebelumnya, akan luruh sendirinya. Pada umumnya, saya menyakini kebanyakan dari kita adalah orang baik (terlepas dari suku, agama, keyakinan, dll).
Perjumpaan itu akan makin bermakna bila kita punya bekerja bersama. Dengan bekerja bersama, kita akan berinteraksi lebih dalam dengan saling membantu. Inilah gotong royong, spirit Indonesia.
Semua agama punya tujuan mulia untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama. Mengapa kita tidak berkerja sama? Inilah yang perlu kita dorong, bagaimana kita bekerja bersama. Inilah yang akan membuat Indonesia terus kuat. Saya kini berada dalam barisan itu dan terus mengupayakan gerakan ini makin besar, mewujudkan Indonesia (dan dunia) yang inklusif dan berkelanjutan.
Semoga makin banyak yang mengupayakannya, termasuk Anda sekalian.
Oleh: Setyo Budiantoro
Komentar