Oleh Dr. Mu’min Roup, M.A.
Maha karya Jalaluddin Rumi yang sangat mendunia adalah “Masnawi”, berisi pesan-pesan sufistik dalam bentuk bait-bait puisi setebal 2.000 halaman. Karya sastra ini ditulis berdasarkan permintaan murid sekaligus sahabat karibnya, Hasamuddin, dengan kualitas puisi dan sajak yang sehaluan dengan karya pendahulunya, Fariduddin Attar, yang juga telah melahirkan karya masterpiece, “Manthiq at-Thayr” (Musyawarah Burung).
Antologi puisinya yang tak kalah mendunia adalah “Diwan Syams Tibriz”, berupa bait-bait pernyataan cinta yang bersifat kerohanian, yakni hubungan baik sang murid dengan gurunya. Hal tersebut merupakan metafora yang menggambarkan kecintaan sang penulis yang ditinggal mati oleh gurunya. Di akhir puisi-puisinya tersebut, Rumi menyebutkan nama sang guru tercinta, yakni “Syamsuddin at-Tibriz”.
Sementara itu, karya-karya prosa dalam bentuk khotbah-khotbah Rumi, diberi judul al-Majlis al-Sab’ah, berisi tentang tausiyah di berbagai daerah, terutama di masjid-masjid yang ditujukan untuk kaum sufi sekaligus masyarakat awam. Adakalanya khotbah-khotbah itu disampaikan dalam bentuk konseling, dalam kaitannya dengan pesan-pesan religiusitas bagi ketentraman dan kenyamanan batin pendengarnya.
Karya prosa ini tak beda jauh dengan “Fihi ma Fihi”, namun yang terakhir ini lebih filosofis dan lebih kaya akan makna dan hikmah, karena ditujukan untuk pendidikan ruhani bagi kalangan tasawuf.
Masa lalu Rumi
Rumi meninggalkan kota kelahirannya (Persia) bersama keluarganya, juga pernah bermigrasi dan berpindah-pindah ke berbagai negeri Islam, juga pernah menetap di Kota Mekah. Sejak remaja, ia belajar mengenai berbagai aliran spiritual, bukan hanya pada ajaran Islam tetapi juga ajaran-ajaran agama lainnya. Setelah ayahnya wafat, ia menggantikan posisi ayahnya selaku guru bagi murid-muridnya. Namun kemudian, ia memilih mengembara dari satu daerah ke daerah lain untuk memperdalam ilmu pengetahuan.
Setelah masa pengembaraan dalam mengarungi beragam tradisi dan budaya, Rumi berkesimpulan bahwa kebanyakan orang belum mampu menggali potensi kemanusiaannya yang luar biasa. Menurut Rumi, pada tiap-tiap individu terkandung energi positif yang harus dikembangkan seoptimal mungkin. Adapun berkaitan dengan potensi dirinya di dunia literasi, ia pun mulai mendalami karya-karya sastra para pendahulunya, di antaranya Sana’i dan Fariduddin Attar.
Kerinduannya pada sang guru (mursyid) membuat Rumi banyak berekspresi mengenai cinta yang tak terbatas. Baginya, penjelasan apapun tentang cinta akan sulit menggambarkan hakikat “cinta” itu sendiri. Kehidupan di dunia ini ibarat gelapnya malam yang hanya diterangi bulan yang tertutup mendung. Manusia perlu menyibak mendung yang menutupi penglihatan dan kalbunya, sehingga pesona bulan akan terlihat dengan jelas. Sedangkan pengalaman mistis hingga persoalan kematian, tak ubahnya dengan waktu siang di saat manusia dengan jelas melihat sinar matahari.
Pemikiran Rumi tidak bersandar pada sistematika ilmu tasawuf mengenai maqam-maqam tarekat tertentu. Akan tetapi, ia hanya menjelaskan perihal perjalanan hidupnya yang mengalami transformasi batin, dan kemudian mengantarkannya ke suatu penyempurnaan rohani. Jadi, ia menempuh suatu jalan atau thariqah tersendiri, yang pada gilirannya mampu mengubah tembaga menjadi emas, bahkan mengubah emas menjadi mutiara.
Corak sastra Rumi
Pada prinsipnya, dunia literasi (syair maupun puisi) dapat dijadikan alat untuk mengekspresikan gagasan-gagasan spiritualnya, yang nampaknya sulit dianalogikan secara rasional. Cita-rasa pengalaman yang bersifat metafisik, sering dilakoni Rumi, sehingga ia dapat seketika menari-nari di sepanjang jalan hanya karena mendengar bunyi pukulan tukang pandai besi di kejauhan.
Pendengarannya sangat peka pada suara-suara di sekelilingnya. Baginya, pukulan tukang besi yang konstan itu menimbulkan nada dan irama tersendiri, bagaikan suara-suara zikir menyebut lafadz “Allah”. Ketajaman intuisi (dzauq) yang dimiliki Rumi menjangkau hal-hal esensial yang berpusat dalam kalbu, dan sulit dilihat melalui kacamata empirisme.
Demikian halnya untuk meraih cinta Tuhan, diperlukan penyucian rohani serta mempertajam olah-rasa, hingga sampai pada hilangnya kesadaran akan eksistensi diri. Ketika manusia telah sanggup melenyapkan dirinya, maka jarak antara aku dan Engkau sudah tak ada lagi. Karena pada hakikatnya, aku dapat melebur dan sirna menjadi Aku Yang Mutlak.
Dalam konsep al-Isyq, kentara jelas penggambaran Rumi tentang hakikat cinta yang menggelora, bahwa cinta memiliki kemampuan untuk menyatukan segala daya, serta memaksimalkan segala potensi manusia. Usaha apapun akan dilakukan untuk dapat menjangkau yang dicinta dengan indera lahiriahnya. Sebab, hatinya hanya terisi pada obyek yang dicintai. Kapan pun dan di manapun, sang pencinta akan terus dibuai oleh hasrat cinta yang menggebu untuk selalu menghadirkan sang kekasih dalam dirinya.
Melalui tasawuf, Rumi telah menempuh jalan untuk berusaha mencintai Allah, hingga terbukalah peluang untuk dicintai oleh-Nya. Ketika pencinta ingin dikenal Yang dicintainya, maka perindu juga ingin diketahui oleh Yang dirindukannya. Maka, capaian yang diinginkan Rumi melalui jalan cintanya ialah mengenal Tuhan sebagai wujud hakiki yang meliputi semua wujud, dan inilah yang disebut ma’rifah.
Melalui bait-bait puisinya, Rumi mengajak pembaca untuk kembali pada eksistensi awal, kemudian menyadari perlunya bersatu dengan alam Ilahiyah. Jika seseorang sudah menuju ketiadaan atau kefanaannya, maka kematian bukanlah derita yang menyedihkan tetapi justru harapan yang dirindukan untuk dapat bersatu dengan Sang Kekasih.
Jadi, untuk menumbuhkan rasa cinta dan rindu pada Allah, maka dibutuhkan pengetahuan dan pengenalan. Jika pengetahuan itu begitu mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa gembira dan gairah untuk menempuh jalan-Nya.
Wafatnya Rumi
Di usia senjanya, Jalaluddin Rumi sudah terkenal sebagai ulama sufi dan pujangga yang produktif, dan telah banyak melahirkan karya-karya sastra adihulung. Di saat sakitnya, para murid dan penggemarnya berbondong-bondong menjenguknya, serta mendoakan kesembuhannya. Namun, takdir berkata lain.
Ia meninggal pada waktu sore menjelang maghrib, tanggal 5 Jumadil Akhir 672 Hijriyah (1273 Masehi) di kota Konya, Persia. Ketika jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesakan ingin melihat sang pujangga yang terakhir kalinya. Bukan hanya masyarakat muslim yang membaca Alquran di sekitarnya, melainkan juga pendeta Nasrani dan Yahudi turut membacakan Injil dan Taurat. Selain itu, para penguasa setempat juga ikut hadir pada saat prosesi penguburannya.
Selesai pemakaman sang pujangga, salah seorang penguasa menanyakan kepada pendeta Nasrani, “Untuk apa kalian hadir dan membacakan Injil, bukankah yang dimakamkan itu seorang muslim?”
Kemudian, seorang pendeta menjawab dengan tenang, “Berkat karya-karya Rumi, kami mengenal nabi-nabi terdahulu. Kepribadiannya juga mencerminkan kepribadian para wali yang sempurna.” (*)
Penulis adalah Peneliti dan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Komentar