oleh

Petuah Jenius Muhammad Abduh

Dekadensimoral di masa kekuasaan Ali Pasha di Mesir, telah membuat rakyat Mesir menderita dan berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Dalam situasi seperti itu, Muhammad Abduh lahir dan tumbuh besar mewarnai corak pemikiran pembaharuan Islam, kemudian terus merambah ke negeri-negeri Timur Tengah, Afrika hingga Eropa.

Pemahaman Islam yang tradisional dan konservatif begitu merebak, dan menjadi alat legitimasi dan pembonceng bagi kepentingan kekuasaan yang korup. Adanya hal-hal baru dianggap sesuatu yang ganjil dan menyimpang dari ajaran Islam. Dalam bukunya “Al-Islam Dinul Ilmi wal Madaniyah”, Abduh menegaskan bahwa golongan masyarakat tradisional yang menganut politeisme bahkan animisme harus dilawan dengan konsep pembaharuan Islam yang egaliter dan rasional. Di sisi lain, teologi Jabariyah yang cenderung memasrahkan segala hal pada ketentuan Tuhan, juga membuat masyarakat cenderung apatis dan skeptis untuk selalu berpangku tangan.

Ia memadukan konsep ijtihad dan bekerja keras, dengan perjuangan bangsa-bangsa Eropa, khususnya yang diprakarsai sang pejuang dan pahlawan Prancis, Napoleon Bonaparte. Untuk itu, Abduh memanfaatkan teologi Mu’tazilah yang cenderung anti terhadap segala hal yang berbau takhayul dan khurafat. Sebagian dari pandangan kaum tradisional itu justru mengibarkan bendera sambil menyatakan secara saklek, bahwa pintu ijtihad telah ditutup.

Sehaluan dengan konsep perubahan Sakib Arsalan, Abduh pun meyakini bahwa sumber kemerosotan berpangkal dari kebodohan umat, kurangnya wawasan dan ilmu pengetahuan, hingga rusaknya akal sehat yang memengaruhi budi pekerti para ulama di zamannya.

Jika ulama ikut terperosok ke dalam degradasi moral, ia akan serampangan memberikan fatwa menurut selera hawa nafsunya. Padahal dulu, saat mengusir kolonialisme Barat, kaum muslimin memiliki semangat juang yang menggebu dalam menegakkan prinsip-prinsip keadilan.

Karya Muhammad Abduh

Salah satu buku Abduh yang terkenal adalah “Risalah al-Waridah”, ditulis sejak ia masih aktif selaku mahasiswa di Al-Azhar. Buku ini bicara tentang ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan metode dan pendekatan tasawuf. Sedangkan, tulisan-tulisan Abduh yang pernah menyebar di berbagai media massa, terhimpun dalam judul, “Tarikh Ismail Basya”. Bukunya yang masyhur tentang filsafat dan sejarah Islam adalah “Falsafatul Ijtima’iyyah wa at-Tarikh”, dikarang ketika Abduh mengajar materi “al-Muqaddimah” karya Ibnu Khaldun di madrasah Darul Ulum. Buku falsafah ini pernah hilang, tetapi kemudian diselamatkan oleh muridnya, yakni Rasyid Ridha, kemudian diedit ulang secara cermat hingga diterbitkan.  

Buku yang tak asing lagi, “Risalah Tauhid”, ditulis ketika Abduh tinggal di pengasingan di Beirut, saat ia diusir oleh rezim Urabi Pasha pada tahun 1882. Sedangkan “Tafsir al-Manar” dihimpun dari materi-materi kuliah sewaktu ia mengajar di Al-Azhar sejak 1899, juga diedit ulang oleh Rasyid Ridha dengan sangat cermat.

Dalam buku “Modern Trend in Islam” (karya Gibb) diungkap mengenai empat agenda pembaharuan yang digagas Muhammad Abduh, antara lain maraknya kesyirikan dalam bentuk khurafat dan takhayul yang dipercaya sebagian umat Islam, sehingga pengertian karomah para wali telah diartikan secara jumud dan skeptis belaka.

Selain itu, Abduh menegaskan pentingnya mempelajari sains modern, tidak cukup orang Islam hanya belajar kitab-kitab klasik berbahasa Arab, yang sebagian hanya berisikan dogma-dogma ilmu kalam yang bicara berbunga-bunga mengenai nostalgia kejayaan Islam di masa lalu.

Secara eksternal Abduh berusaha mempertahankan identitas dan potret diri Islam. Di sisi lain, ia juga tak mentoleransi paham-paham filsafat yang berseberangan dengan religiositas dan nilai-nilai keislaman. Jadi, yang ditekankah Abduh adalah upaya mengoptimalkan pikiran dan akal sehat. ”Jika pikiran manusia dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka hasil yang dicapai akan selaras dengan kebenaran yang dipelajari melalui agama,” tegas Muhammad Abduh.

Dalam konsep “Reformulasi” Abduh mulai membicarakan faktor internal dan eksternal yang mesti dirombak dan diperbaharui. Terkait dengan ini, secara terang-terangan ia menegaskan perlunya dibuka kembali pintu ijtihad, sebagai upaya kebangkitan untuk mengoptimalkan akal pikiran yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia sebagai makhluk spesial. (*)

 

Oleh: Chudori Sukra

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *