oleh

Gerson Poyk, Sastrawan Nasional asal Namodale

-Feature-958 views

DULU, saat masih SD hingga SMA di Lembata, menyebut nama lengkap Herson Gubertus Gerson Poyk mungkin perlu kami buang jauh sejauh jarak Lembata ke Namodale, Pulau Rote, tempat kelahiran Gerson Poyk, legenda sastra Indonesia. Di SD atau SMP di kaki gunung Labalekan, memandang Gerson Poyk sebagai sastrawan pun belum kesampaian. Nama Gerson Poyk pun agak sulit ditemui bila mempelajari periodisasi satra mulai Angkatan Balai Pustaka hingga Angkatan 66.

Sekali lagi gelap gulita. Bukan hanya jarang disebut bapa atau ibu guru Bahasa Indonesia rata-rata berijazah SMA dan satu atau dua orang lulusan Program PGSLP (Diploma 2) Undana Kupang. Kalaupun memperoleh buku-buku sumber ajar terbitan Tiga Serangkai Solo kala itu amat sulit. Solo, kampung Jokowi terpaut jauh dengan Boto, kampung saya meski ada beberapa nama orang kampung saya: Solo, semisal Laurens Solo, Emanuel Solo atau Sosimus Solo familiar.

Tapi semangat belajar, termasuk sastra kami anak-anak SD tak kalah. Berdeklamasi (berpuisi) di lapangan bola kaki di bawah terik matahari yang membakar kulit kami yang legam kerap kami lakukan sebagai bagian dari pelajaran Bahasa Indonesia. Puisi yang kami bawakan juga bukan karya para penyair kelas nasional tapi karya guru Bahasa Indonesia yang ditulis dengan bolpoin dengan huruf tegak sangat rapi. Berdeklamasi di tengah lapangan bola bagi kami siswa laki-laki perlu waspada agar tali celana jauh dari ancaman putus. Ini penting mengingat bahan tali berasal dari kapas hasil pintal ibu-ibu kami yang rentan putus.

Berharap memperoleh puisi karya Gerson Poyk atau John Dami Mukese kala itu, sangat sulit. Buku karya Prof Dr Gregorius Perawin (Gorys) Keraf pun langka kala itu. Ibu Nika Batafor, isteri Gorys Keraf, meski pernah menjadi guru SDK Boto, almamater saya pun seolah tak pernah menjadi petunjuk bagi para guru kala itu untuk memperoleh buku-buku karya ilmuwan Bahasa Indonesia asal Lamelera, kampung nelayan di beranda laut Sawu.

Nama Armin Pane, Sanusi Pane, Subagio Sastrowardoyo, Chairil Anwar, Idrus, dll lebih familiar kala itu. Mestinya nama Gerson Poyk, John Dami Mukese, Umbu Landu Paranggi akrab juga menembus gendang telinga. Penerbit Nusa Indah Ende kala itu banyak menerbitkan buku-buku bermutu tetapi berharap buku-buku singgah di sekolah-sekolah tak jauh seperti kata pepatah: si pungguk merindukan bulan. Pun SKM DIAN, koran milik SVD Ende yang setia setiap minggu dengan terbitan reguler pun nyaris tak hadir di hampir semua sekolah. Kadang bisa dihibur dengan hanya melihat halaman muka DIAN itu sudah cukup. Selebihnya, mendengar cerita ulang Pastor Nicholas Strawn SVD usai membaca Majalah TIME yang dikirim kerabatnya dari Oelwein, Ilinoi, negara bagian Amerika Serikat. Untuk ini, “Terima kasih, Pater Nicholas!”

Tahun 1990, saat tiba di Kupang dan baru pertama kali melihat koran-koran besar terbitan luar NTT semangat membaca bagai angin ribut. Kaget juga ternyata ada koran harian dengan format besar di luar DIAN seperti Kompas, Sinar Harapan, Surabaya Post, Jawa Pos, Surya, Bali Pos, dan lain-lain. Nama Gerson Poyk dan Gorys Keraf sempat saya baca. Gerson menulis sejumlah cerpen dan cerber di Sinar Harapan dan Surya. Sedang nama Gorys Keraf muncul di Harian Surya Surabaya sebagai pengasuh Rubrik Bahasa.

Baik Gerson Poyk maupun Gorys Keraf tak pernah bersua langsung. Perjumpaan sekadar melalui karya brilian mereka. Putri Gerson, Fanny Jonathans pun pernah ngajak bertemu sang ayah di Depok, Jawa Barat tapi tak pernah terwujud saat saya masih sebagai juru warta muka baru menghadapi kota bertabur beton. Sedang Gorys Keraf, saya sambangi rumahnya di kawasan Kayu Manis dan sempat bantu sebagai pembantu tukang di sela aktivitas saya di media kala itu.

Dari dua sosok ini saya belajar hal penting. Tesis doktoral Gorys Keraf tentang Morfologi Dialek Lamalera di Universitas Indonesia menjadi buku utama saya menulis skripsi saya: Morfologi Dialek Imulolo dan lulus di injury time di Undana. Sedang dari karya sastra Gerson Poyk saya berhasil menulis sekitar sebelas cerpen dan beberapa puisi di Harian Pos Kupang selama kuliah ditambah 2 cerpen di Harian Fajar Bali Denpasar saat ngepos di Jakarta. Saya tersenyum saat kisah kelahiran saya di hutan menjadi menu cerpen sastrawan Fanny Poyk, putri Gerson di Kompas edisi Minggu beberapa waktu lalu. Gerson berpulang di Depok, Jawa Barat, 24 Februari 2017 lalu jenazahnya pulang Kupang itu sesuatu. Apalagi tanggal kelahiran sastrawan asal Namodale itu: 16 Juni (1931), diperingati sebagai Hari Sastra NTT. Selamat berbahagia di Surga, orangtua Gerson Poyk dan bele Goris Perawin Keraf.

 

Jakarta, 16 Juni 2022
Oleh: Ansel Deri
Orang udik dari kampung;
Pernah tinggal di Labat, Bakunase

Komentar