RADARNTT, Jakarta – Pandemi COVID-19 di Indonesia memasuki bulan ke-7 dengan pelbagai dampak ekonomi, sosial, budaya di masyarakat yang makin kompleks, salah satunya adalah perkawinan di usia anak yang mengalami bertambahan angka yang cukup serius.
Menyoal fenomena perkawinan anak, sebenarnya Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan dengan perubahan pasal terkait pembatasan usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki dilakukan minimal usia 19 tahun atau lebih. Selain itu adanya PERMA No. 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin juga diharapkan dapat berkontribusi mengurangi pemaksaan perkawinan anak.
Perkawinan anak bukan permasalahan sepele, yang mungkin sebagian besar masyarakat menganggap hanya sebatas sebuah proses yang lazimnya dilakukan. Padahal perkawinan anak ini menyumbang masalah-masalah besar yang dialami di kemudian hari baik bagi anak perempuan sendiri, keluarga dan masyarakat.
Dimulai dari masalah kekerasan dalam rumah tangga akibat ketidaksiapan mental, permasalahan kemiskinan yang semakin menguat dikarena perkawinan anak justru menghambat anak sendiri memperoleh pendidikan yang cukup untuk bekal menjadi mandiri, kemudian berbagai masalah kesehatan khususnya kesehatan reproduksi dikarenakan kesehatan reproduksi perempuan yang secara biologis belum siap untuk menjalani proses reproduksi dan bermuara pada masalah kematian ibu melahirkan dan bayi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan sejak pandemi Covid-19, perkawinan usia anak tercatat mencapai 24 ribu. Data tersebut bersumber dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) yang menangani pemberian dispensasi kawin. belum lagi perkawinan-perkawinan anak yang tidak tercatat karena dilakukan secara adat, dan cara-cara lainnya.
Dalam beberapa wacana yang mengemuka dalam media mengungkap bahwa sistem pendidikan jarak jauh selama pandemi ini menjadi salah satu faktor yang membuat anak meminta untuk dikawinkan.
Ketidaksiapan anak, orangtua dan keluarga menjalani sistem pendidikan online membuat anak-anak tidak dapat mengisi aktivitas belajar keseharian seperti pada situasi normal. Selain faktor ekonomi yang memburuk yang akhirnya mendorong orangtua untuk mengawinkan anak-anak mereka.
Berangkat dari realita tersebut, SEJAJAR1 menggelar Semidaring ke-27 yang akan mengangkat isu Perkawinan di masa pandemi, sebagai forum diskusi terbuka untuk melihat bagaimana efektifitas kebijakan perkawinan anak setelah revisi Undang-Undang, program pendidikan yang mendukung mandat pencegahan perkawinan anak, dan juga upaya organisasi masyarakat sipil dan partisipasi kaum muda untuk pencegahan perkawinan anak di masa pandemi.
Narasumber: Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Tumbuh Kembang Anak, KPPPA. Ai Maryati Solihah, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Nurlaela Lamasitudju, SKP-HAM Sulawesi Tengah. Ferny Prayitno, Pegiat Youth Coalition For Girls. Dan dimoderatori oleh Lia Anggiasih, Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia.
Registrasi paling lambat Selasa, 15 September 2020, pukul 12:00 WIB melalui link: http://bit.ly/semidaringsejajar27, keterangan dan konfirmasi melalui Siti Istikanah (wa.me/62818119227). (TIM/RN)
Komentar