Oleh : Tuti Puji Rahayu
Salah satu senjata untuk dapat menaklukkan semangat atau gairah zaman ini adalah bersedia hidup dalam kesederhanaan. Hidup dalam kesederhanaan bukan berarti tidak memakai perhiasan, pakaian, dan fasilitas lain yang baik. Kita harus bisa membedakan antara berpenampilan baik untuk memperoleh penilaian dari sesama demi harga diri atau nilai diri. Dalam hal ini kita harus bisa memahami pengertian kepatutan. Kepatutan dalam berpakaian, berkendaraan, memiliki rumah, menggunakan perhiasan, dan lain sebagainya, harus didasarkan pada kesediaan diri Agar hidup kita memancarkan Pribadi.
Kalau seseorang sudah terikat dengan barang branded, maka sulitlah baginya untuk memahami pengertian kepatutan. Gaya hidup ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang normal, wajar, bahkan membanggakan. Biasanya orang seperti ini mencari nilai diri dari barang yang dimiliki dan dikenakan. Betapa miskinnya mental orang seperti ini, sebab mestinya yang berharga adalah manusia batiniahnya, bukan lahiriahnya.
Sesungguhnya, kesederhanaan dimulai dari sikap hati, yaitu sikap hati tidak mencari hormat atau penilaian manusia. Orang yang memiliki sikap hati yang sederhana tidak pernah merasa dirinya berharga dengan fasilitas yang menempel di tubuhnya. Walaupun manusia di sekitarnya menghormati dirinya, tetapi ia tidak merasa bahwa hal itu merupakan nilai lebih dalam hidupnya.
Mengapa bisa demikian? Sebab ia tidak mencari dan mengharapkan hormat dari manusia.
Orang yang membangun nilai diri berdasarkan barang yang dikenakan dan dimiliki, membawa dirinya kepada keadaan “letih dan berbeban berat”.
Hakekatnya bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran terhadap nilai diri. Secara naluri manusia bergerak, menjalankan kehidupannya untuk menemukan dan memiliki nilai diri.
Nilai diri yang dikejar sebenarnya bukanlah nilai diri yang benar. Kebutaan pengertian atau kebodohan manusia mengakibatkan manusia tidak menyadari kemiskinannya tersebut, sehingga tidak berusaha menemukan kembali nilai dirinya yang telah jauh dari standar.
Banyak orang yang pikirannya disesatkan oleh pengertian bahwa nilai diri manusia ditentukan oleh kekayaan, gelar pendidikan, keturunan, dan lain sebagainya. Padahal, semua yang dianggap dapat memberi nilai diri tersebut adalah sia-sia belaka. Hal ini akan disadari ketika seseorang harus melepaskannya atau ketika seseorang masuk ke dalam kekekalan. Ternyata apa yang selama ini dianggap sebagai nilai diri hanyalah “fantasi di pikiran saja”, di pikirannya sendiri, dan di pikiran banyak orang. (*)
Komentar