oleh

Kristo Blasin Terlepas Setelah Terusap

-News, Opini-2,017 views

Oleh: Petrus Plarintus

Gunjang ganjing siapa yang akan keluar dari pintu PDIP berakhir sudah setelah PDIP dengan jargon partai wong cilik mengetuk palu untuk pasangan Marianus Sae dan Emy Nomleni.

Dengan demikian banyak kalangan mempertanyakan keputusan DPP PDIP karena telah menganulir kadernya sendiri dengan alasan tidak memiliki sumber dana finansial yang memadai. Sampai titik ini muncul pertanyaan kritis, dimana makna partai wong cilik yang digadang-gadang selama ini?

Keputusan DPP PDIP ini sempat menimbulkan riak-riak kecil di akar rumput namun justru di sinilah saatnya ketika DPP PDIP menunjukan arogansinya sekaligus mengangkangi jargon politiknya sebagai partai wong cilik.

Kristo Blasin yang oleh banyak kalangan diakui kapasitas dan integritasnya terdepak dari PDIP. Sama halnya dengan Ray Fernandez, terpaksa harus lempar handuk karena tidak bisa mengikuti irama yang dimainkan oleh DPP PDIP.

Kondisi ini tidak disia-siakan oleh partai dengan jargon restorasi. Dan memang ini sudah menjadi insting politik Partai Nasdem yang selalu selangkah lebih maju dalam membidik kader-kader potensial.

Pertemuan antara Yosef Nai Soi dan Kristo Blasin menjadi titik balik sejarah bagi Kristo yang selama ini dikenal sebagai loyalis partai wong cilik. Maka ketika Kristo tidak diakomodir oleh bunda kandungnya, maka inilah momen yang strategis untuk berhitung tentang harga yang harus dibayar untuk seorang loyalis yang terzolimi.

Mungkin untuk para pendukung Kristo keputusan ini cukup mengecewakan karena justru sakitnya tuh di sini. Namun SK PDIP bukanlah kiamat bagi seorang Kristo.

Keberhasilan Kristo sebagai ketua pemenangan FLR selama tiga periode ternyata mendapatkan apresiasi dan dalam sekejap perannya menjadi cukup diperhitungkan dalam memenangkan pasangan VBL dan YNS.

Maka pada titik ini menjadi terbukti bahwa harga seorang kader tidak bisa ditentukan dengan segepok uang.

Ternyata sumber daya dan jaringan yang dimiliki oleh Kristo adalah aset yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Dan ini bisa menjadi ancaman serius bagi wong licik. Ibarat pepatah; bermain air basah, bermain api hangus. (*)

Komentar