oleh

Peraturan Menteri Kesehatan No. 53 Tahun 2017 Belum Sejalan Dengan Nawacita Jokowi

RADARNTT, Kupang – Peraturan Menteri Kesehatan 53 Tahun 2017 belum sejalan dengan Nawacita Jokowi. Permenkes ini tidak dibuat hanya untuk mengatasi masalah defisit BPJS yang mencapai 9 Trililun saja tapi memastikan jaminan dan pelayanan kesehatan dalam jangka panjang.

Kata Akademisi Undana, Tadeus A. Lada R, M.Kes saat ditemui Kamis, (11/1/2018) di Kupang

Permenkes No. 53 Tahun 2017 yang mengatur perubahan atas peraturan menteri kesehatan No. 40 tahun 2016 tentang petunjuk teknis penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat dan aturan ini melihat pertimbangan layanan akses kesehatan kepada masyarakat, khususnya dalam penyelanggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui pendanaan pajak rokok.

“Permenkes ini dikeluarkan pada 13 November 2017 untuk menanggulangi defisit Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 9 Trililiun dengan pajak Rokok sebesar 75 % demi membantu mendanai defisit yang dialami BPJS”, kata Tadeus.

Alumnus UNDIP Semarang ini menjelaskan, pada Permenkes No. 53 tahun 2017, Pasal 2 mengatakan, penggunaan pajak rokok untuk pendanaan peningkatan pelayanan kesehatan seperti : penurunan faktor resiko penyakit tidak menular, penurunan faktor resiko penyakit menular termasuk Imunisasi, peningkatan promosi kesehatan, peningkatan kesehatan keluarga, gizi, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dam olahraga, pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau dan pelayanan kesehatan fasilitas kesehatan tingkat pertama serta pemeliharaan fasilitas pelayanan kesehatan.

Menurutnya, Permenkes No. 53 tahun 2017 pasal 2, dibuat bertolak belakang pada pasal setelahnya yaitu : pasal 3 dimana, pasal ini mengakomodir juga pendanaan pajak rokok untuk JKN sehingga dengan sendirinya mencederai aturan Permenkes terdahulu No. 40 Tahun 2016 yang mengakomodir penggunaan pajak rokok untuk kegiatan–kegiatan yang sebagaimana tercantum pada pasal 2 untuk peningkatan pelayanan kesehatan.

“Aturan ini membuat sebesar 75 % anggaran yang sebenanrnya digunakan untuk peningkatan layanan kesehatan diubah menjadi 25 % saja dan sisanya untuk pendanaan JKN”, imbuh Tadeus.

Dia menegaskan hal yang perlu dicermati dan dikaji secara kompleks karena bagaimana pun setiap kebijakan dan progam kementerian haruslah menterjemahkan konsep–konsep visi dan misi Presiden Jokowi yang tertuang dalam sebutan “Nawacita”.

Di dalam Nawacita kesehatan menempati point kelima yang berbunyi “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia”. Oleh karena itu, kata Tadeus, Kemenkes harus sejalan bukannya malah tidak mendukung atau bahkan terlihat sama sekali memperlambat peningkatan kualitas masyarakat Indonesia dengan mengubah anggaran yang sebelumnya didanai pajak rokok sebesar 75 % menjadi hanya 25 % saja.

“Ini sudah sangat terlihat bahwa kementerian kesehatan tidak serius mengedepankan Nawacita Presiden Jokowi dan malah lebih terlihat komersil untuk anggaran pendanaan JKN”, ujar Tadeus.

Dia juga mengatakan bahwa terkait hal ini tentunya perlu dilihat agar aturan yang diberlakukan tidak memberikan dampak yang luas bagi masyarakat, khususnya kesehatan bagi masyakarakat.

Mestinya negara memikirkan banyak hal sebelum membuat kebijakan dan mensahkannya, apalagi jika mengacu pada penelitian–penelitan di Indonesia misalnya tentang sistem kesehatan nasional yang harus lebih mengedepankan paradigma sehat dengan berbasis pendekatan secara preventif maupun promotif.

“Jika paradigma sehat kita lupakan dari segi anggara maka dengan APBN yang hanya sebesar 25 % saja, akan terlihat ketidakseriusan pemerintah dan malah kita kembali mundur satu langkah dalam pembangunan kesehatan masyarakat”, pungkas Tadeus.

Di tempat terpisah Ketua Umum Jaringan Mahasiswa Kesehatan Kota Kupang (JMK3) yang ditemui Jumat, (12/1/2018), mengatakan aturan yang dibuat oleh kemeterian kesehatan bukanlah solusi jangka panjang untuk kesehatan masyarakat Indonesia, sebab ada bebearapa item Permenkes yang tidak berpihak terhadap rakyat.

Karena mana mungkin masyarakat Indonesia bisa sehat jikalau progam dan anggaran yang sebenarnya untuk rakyat atau diperuntukan untuk peningkatan kesehatan dengan berbagai aspek preventif (Pencegahan) dan Promotif (Promosi Kesehatan) namun lebih mendukung pada Pemerintah itu sendiri yang telah mengalami defisit.

“Semestinya BPJS Kesehatan secara menyeluruh harus dievaluasi karena angka 9 triliiun bukan angka yang kecil dan atas nama masyarakat, kami tidak terima aturan ini diberlakukan dan mohon agar Kementerian Kesehatan lebih berpihak pada rakyat”, ujarnya. (Yoan/RN)

Komentar