RADARNTT, Jakarta – Dari sharing pengalaman berbagai negara Asia Timur, kok saya justru malah sangat tertarik dengan negara sebelah kita yaitu Malaysia. Itu diskusi topiknya tentang solidaritas ekonomi, demikian tulis Peneliti Senior Prakarsa, Setyo Budiantoro di akun pribadinya, Jumat (23/20/2020) pagi.
“Tentu saja saya bangga menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara paling dermawan di dunia (ada datanya soal ini). Sayang kita belum mampu mentransformasikan itu secara optimal, sehingga berdampak besar. Dari interview dan diskusi dengan banyak sosok/institusi prestisius Indonesia/dunia (Gates, Ford, IFC, SMI, IDB, ADB, ICCTF, ANGIN, KEHATI, dll) selama dua bulan terakhir, saya kemudian mulai memahami apa saja yang perlu dibenahi,” terangnya.
Saya sangat optimis, tegas Setyo Budiantoro. Problemnya, bukan kita kekurangan niat (atau orang) baik, namun bagaimana membangun sistem, mekanisme, dan kelembagan menjembataninya.
“Ada film Hollywood bagus judulnya “A Few Good Men”, kalo di Indonesia mungkin mesti diganti “A Lot of Good Men”. Kita tidak kekurangan supply. Demand (persoalan) kita juga tidak kurang-kurang,” tegas Alumni Ekonomi Pembangunan International Institute of Social Studies (ISS), Belanda.
Mungkin seperti klise, lanjut Setyo Budiantoro, namun sungguh spirit gotong royong adalah jalan keluar, tantangannya adalah membangun sistem, mekanisme dan model.
“Namun jangan dikira ini hanya sekedar charity, ini juga mesti dibangun melalui pendekatan entrepreneurship agar berkelanjutan. Kok malah ngelantur ya, lain kali kalo punya waktu lebih banyak kayaknya ini bagus sy share melalui tulisan yg lebih lengkap dan sistematis,” imbuhnya.
Kembali ke Malaysia, sambung Setyo Budiantoro. Di Malaysia ada inisiatif yang bagus. Mereka membuat “Geran Padanan Impak Sosial”, kira-kira sederhananya itu semacam matching fund (dana padanan) bagi yang sudah terbukti menjalankan kegiatan yang berdampak sosial.
Prinsipnya apa yang sudah baik dan terbukti dilakukan (kelompok) masyarakat, menurutnya tinggal ditambahkan saja pendanaannya. Masyarakat jadi lebih berdaya, pemerintah juga tak perlu kerepotan melakukan semua hal sendiri.
“Bukankah masyarakat yang berdaya (active citizenship) adalah sumber kekuatan negara? Sebenarnya negara-negara lain yang berpengalaman membuat ini, misalnya Belanda atau Amerika, namun saya tidak mengira negara tetangga sebelah sudah sangat maju soal ini,” tutur Setyo Budiantoro.
Negara memang harus hadir, kata dia, namun bukan berarti semua kemudian diserahkan persoalannya pada negara. Negara harus kuat setuju, namun masyarakat juga harus kuat (silakan periksa timeline saya tentang ‘bahayanya bila hanya salah satu yang kuat’, diskusi Narrow Corridor).
Ia menambahkan, Malaysia juga sudah meluncurkan Malaysia Social Enterprise Blueprint sekitar 5 tahun lalu, kita sama sekali belum ada. Padahal, banyak banget yang sudah kita lakukan dan bisa kita kembangkan, kalau kita lebih mampu menemukenali dan merumuskan apa yang perlu diperkuat. Memang masih banyak PR di republik ini. Tapi, bukankah itu membuat hidup kita lebih bermakna? Maukah kita berbuat sesuatu yang hanya sekedar untuk diri sendiri?
“Kalau hidup hanya untuk hidup maka babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja maka kera juga bekerja” tutupnya mengutip kata Buya Hamka. Jadi, apakah kita hanya babi (hutan), kera atau (masih) manusia?, tanya Setyo Budiantoro, tegas. (TIM/RN)
Komentar