Oleh Alex Ofong
Ada dua momen penting selepas umat Kristiani merayakan Paskah dan sebelum umat Islam merayakan Isra Mi’raj, yaitu momen Hari Kartini dan Hari Bumi.
RADARNTT, Opini- Hari Kartini diperingati pada Jumat, 21 April 2017. Berbagai aksi dan kegiatan dilakukan untuk memeriahkan Hari yang dikhususkan bagi Kaum Perempuan Indonesia ini. Aksi kreatif dilakonkan dalam berbagai bentuk, baik berkonde mapun tanpa konde, di beberapa kabupaten di NTT, oleh berbagai organisasi – pemerintah dan non pemerintah. Kebanyakan oleh aktivis – yang menamakan diri mereka aktivis perempuan; termasuk komunitas perempuan biasa. Semua mengekspresikan multi-dimensi kehidupan Kartini. Getaran peringatan Hari Kartini bahkan masih terasa hingga hari ini. Apalagi, hari ini, Rabu 26 April 2017, masih ada aksi untuk memeriahkan sekaligus mengangkat dan menghidupkan nilai dan spirit Kartini.
Sehari setelahnya, Sabtu, 22 April 2017, Hari Bumi diperingati. Hari Bumi dikhususkan untuk mengenang Bumi, tempat tinggal manusia, yang perlu dijaga dan diselamatkan. Berbagai aksi dan atraksi dilakukan – mulai dari aksi spontan bersih-bersih lingkungan, sambil membumikan gerakan jangan buang sampah sembarangan; sampai aksi terencana berupa penanaman pohon; serta yang paling mencolok adalah yang diinisiasi dan dikoordinasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), berupa seminar wawasan ekologis, perlombahan perahu layar bersama nelayan Kota Kupang, dan Pentas Rakyat di Pantai Oesapa – yang menghadirkan para juara lomba pidato dan puisi bertema ekologi bagi para pelajar di Kota Kupang; monolog tentang lingkungan, kolaborasi Teater Perempuan Biasa dan music rumpu rampe Laki-laki terbiasa; dan penampilan musikus kawakan nasional asal NTT, Ivan Nestroman. Semua dilakukan untuk memeriahkan Hari Bumi sekaligus untuk menyadarkan dan menghidupkan kecintaaan akan Bumi dengan semangat untuk menyelamatkannya, tentu dalam perspektif ekologis.
Entah kebetulan atau tidak, tapi faktanya, keduanya – Kartini dan Bumi – diperingati berdekatan, bahkan terjadi dalam satu momentum; karena peringatan Hari Bumi sudah dilaksanakan beberapa hari mendahului Hari Kartini dan memucak sehari setelah Hari Kartini; sehingga getarannya seolah hanya dirasakan dalam satu tarikan napas.
Issue-issue yang diangkat pun sensitif, khas, dan menohok pada kritikan terhadapan kurangnya perhatian publik, khususnya pemangku kepentingan terutama Pemerintah terhadap perempuan, anak, dan lingkungan – yang sangat bertalian, bahkan secara dialektis saling mempengaruhi.
Jika dicermati, pelaku sentral dalam penyelenggaraan peringatan dua hari penting ini adalah perempuan. Hari Kartini digagas dan diinisiasi oleh aktivis perempuan, dijalankan oleh sebagian besar perempuan. Di atara mereka, hadir beberapa lelaki peduli – termasuk wartawan.
Sedangkan Hari Bumi, walaupun digagas oleh WALHI, tetapi keterlibatan aktif perempuan sangat tampak. Dalam Pentas Rakyat di Pantai Lasiana, misalnya. Puncak perayaan Hari Bumi itu, sebagian besar melibatkan perempuan. Pemenang lomba puisi dan pidato untuk tingkat SD, SMP, dan SMA pun adalah pelajar putri. Monolog pun dipentaskan oleh Perempuan Biasa. Keseluruhan acara dipandu oleh dua orang MC (master of ceremony) yang cantik. Hari Bumi seakan menyatu dengan Hari Kartini. Bumi sungguh berwajah perempuan. Karena itu, tidak berlebihan keduanya dipandang sebagai satu kesatuan: ‘Wajah Perempuan dalam Bingkai Ekologi’.
Tak dapat dipungkiri, perempuan dan lingkungan saling bertautan. Issue-issue perempuan sangat bertalian dengan lingkungan. Pun pula, issue-issue lingkungan berpautan dengan perempuan. Perempuan tampak berwajah lingkungan; sedemikian sehingga lingkungan pun berwajah perempuan.
Persoalan ketidakadilan gender yang menyebabkan beban ganda pada perempuan, subordinasi, dan stigma negatif lainnya; juga human trafficking yang berbias pada penindasan perempan, jika dikaji, dianalisis dengan benar, berkaitan erat dengan persoalan lingkungan, secara khusus soal pengelolaan sumber daya alam – ditinjau dari pespektif sustainable livelihood, dengan penekanan pada lima asset sebagai resources.
Persoalan pangan, air, dan energy – sebagai persolan lingkungan – melibatkan perempuan sebagai actor sentral sekaligus korban. Sebagai actor sentral ketika perempuan secara signifikan terlibat mengatur distribusi secara baik. Sebagai korban – dan ini banyak kali terjadi – ketika perempuan ‘dipaksa’ berperan lebih (double burden) untuk mengatasi krisis pangan, kekurangan air, kelangkaan energi, khususnya dalam skala rumah tangga. Apabila krisis itu mempengaruhi ketahanan ekonomi keuarga, maka anak perempuan pun dikorbankan – entah diminta berhenti sekolah, atau menjadi TKI bahkan secara illegal; dampak ikutan adalah menjadi korban human trafficking.
Karena itu, aksi-aksi Kartini masa kini dengan berbagai ekspresi – bertemakan emansipasi, solidaritas, toleransi rasa – harus mampu diberi bobot sebagai ikhtiar penemuan kembali (reinventing) dan menghidupkan kembali (revitalizing) nilai dan spirit Kartini. Aksi dan atraksi memperingati hari Bumi pun mestinya mampu memberi inspirasi dan motivasi mencintai lingkungan dalam bingkai pemahaman dan perspektif yang benar tentang ekologi. Perspektif ekologis seyogyanya menjadi jiwa, bingkai, dan basis mindset, sikap dan perilaku – termasuk perilaku politik.
Nilai dan spirit Kartini diharapkan memicu Kartini masa kini untuk melek literasi ekologi; bahkan menjadi pelopor kampanye ekologi, menjadi pionir gerakan ekologi – mencintai lingkungan, menyelamatkan Bumi. Dan yang terpenting adalah menjadi perempuan tangguh, yang tetap bergeming kendati dihimpit ancaman dan tekanan akibat krisis ekologi. Perempuan berketahanan (resilient) bukan perempuan rentan (vulnerable).
Dengan demikian, Peringatan hari Kartini dan hari Bumi, kali ini, dapat menarik perhatian publik, khususnya para pemangku kepentingan, terutama pemerintah (dan DPR/D) kepada perempuan, dan memandang wajah perempuan dalam bingkai ekologi. Bahwa wajah perempuan yang tampak dalam bingkai ekologi itu menyadarkan dan mengingatkan pemerintah untuk memastikan kebijakan lingkungan/ekologi yang sensitif perempuan; sehingga wajah yang tertampak itu adalah wajah perempuan tangguh, yang tersenyum menatap masa depan, bukan wajah perempuan korban, yang kehilangan asa akan hari esoknya.
Kalau lingkungan kita, bumi kita, sedang dilanda pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change), yang berdampak pada kejadian bencana beragam rupa – shocks and slow on set; maka tindakan mitigasi dan adaptasi harus dapat diterjemahkan secara konkret dalam kebijakan dan praksis yang tepat. Penanaman pohon dan pemeliharaan hutan srategis untuk mengurangi emisi karbon (sebagai bagian dari mitigasi) dan Pengurangan risiko bencana (PRB) melalui berbagai rencana dan aksi (sebagai bagian dari adaptasi) tidak hanya menjadi wacana, tetapi harus mewujud.
Wajah perempuan dalam bingkai ekologi memanggil semua kita – perempuan dan laki-laki – untuk mencintai lingkungan, menyelamatkan bumi. Khusus bagi laki-laki [kecuali yang tidak mencintai perempuan] dipanggil untuk mencintai lingkungan dan merawat bumi; karena di dalamnya ada wajah perempuan, wajah ibu. Rawatlah hatinya, selamatkan bumi!!!.***
Komentar