oleh

Wakil Rakyat Zaman Now: Quo Vadis?

-Opini-2,080 views

Oleh: Petrus Plarintus

 

Hari-hari ini, sejumlah media syarat dengan berita seputar pencalegan. Diberitakan bahwa ada partai yang mendafatar dengan membawa sejumlah artis. Tentu sudah bisa diperkirakan kalau keterlibatan artis dalam pencalegan dimaksudkan untuk mendulang suara sebanyak mungkin karena para artis umumnya adalah figur-figur yang popularitasnya tidak perlu diragukan lagi. Ya, mudah-mudahan saja hasil akhirnya benar demikian.

Dan lebih daripada itu kehadiran para artis dalam panggung politik tidak diharapkan hanya sekedar memindahkan panggung hiburan ke pentas politik tapi juga dapat berkontribusi  sebagai corong aspirasi bagi rakyat yang diwakilinya.

Menarik bahwa dalam proses penjaringan para caleg menjelang Pileg 2019, ada sejumlah ketentuan yang berbeda dibanding dengan pencalegan pada periode 2014. Antara lain misalnya mengenai larangan mantan napi koruptor untuk ikut dalam proses kontetasi. Sekalipun ketentuan ini mengundang polemik dari berbagai pihak, namun ada juga pihak-pihak tertentu yang mendukung keputusan yang sudah diambil oleh KPU ini.

Selaian itu ada sejumlah kewajiban administratif lain yang harus dipenuhi termasuk tes kesehatan dan kejiwaan bagi setiap bacaleg. Tentu saja ketentuan ini merupakan pekerjaan tambahan untuk para bacaleg yang dalam proses pengurusannya selalu dirundung kecemasan karena khawatir kalau namanya pada akhirnya tidak masuk dalam nominasi.

Padahal untuk sebagian bacaleg; demi kepentingan seleksi kesehatan dan kejiwaan saja mereka harus menempuh perjalanan jauh dengan melintasi kabupaten ataupun pulau lain karena lembaga yang ditunjuk untuk melaksanakan seleksi dimaksud tidak tersedia ditempat asal sang bacaleg .

Sebagai orang yang turut terlibat dalam mengikuti Peraturan KPU (PKPU) dalam kaitan dengan kontestasi pemilu legislatif, saya mencoba untuk memahami substansi dari dikeluarkannya PKPU dalam proses pencalegan. Bahwa KPU dengan ketentuan seperti ini mengharapkan para wakil rakyat yang akan duduk di gedung dewan nanti adalah mereka yang memiliki kesehatan  jasmani, rohani serta sejumlah kapasitas lain yang bisa menunjang kinerjanya sebagai wakil rakyat. Disamping  itu mereka juga perlu memiliki integritas dan dan rekam jejak yang baik sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi rakyat yang diwakilinya.

Sekalipun demikian, hal ini tidak disambut baik oleh semua pihak dengan diloloskannya beberapa caleg yang pernah tersandung kasus korupsi. Memang secara legal standing, hal ini masih dapat diperdebatkan. Akan tetapi di sisi lain, good will dari pihak-pihak terkait untuk memerangi penyakit korupsi yang kian menahun di negri ini bisa dipertanyakan.

Sementara itu kalau dilihat dari modus operandi kejahatan korupsi selama ini, selalu memiliki tali temali dengan lembaga tertentu. Artinya kejahatan korupsi itu masih lebih banyak terjadi karena sistem yang koruptif yang berada dibawah kendali oknum-oknum yang juga memiliki integritas yang rendah. Atau dengan meminjam istilah Bang Napi: “Kejahatan terjadi bukan karena niat, melainkan karena kesempatan”.

Memang perlu disadari bahwa ketentuan calon legislatif sesuai yang dipersyaratkan oleh KPU merupakan sebuah langkah awal demi membuka jalan bagi peningkatan rasa kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat yang terhormat. Dan atas dasar pertimbangan ini maka harusnya semua pihak perlu bersinergi demi mengangkat martabat wakil rakyat yang sedang anjlok karena terjerat kasus korupsi ditambah dengan kinerja yang belum maksimal.

Namun apabila ketentuan pencalegan yang dipersyaratkan oleh KPU hanya dilihat sebagai sebuah formalitas belaka dan ditambah dengan penetapan calon dari partai hanya untuk memenuhi kuota, maka jangan berharap banyak kalau wakil rakyat di masa mendatang akan memberikan warna baru di gedung dewan. Lantas: Quo Vadis Wakil Rakyat?

Komentar