oleh

Jalan Terjal Bahan Bakar Minyak

Oleh: Deny Alan Pakiding, SH

Sabtu, 3 September 2022 Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pengumuman yang ‘terkesan’ mendadak ini dilangsungkan oleh presiden di Istana Negara, pengumuman lalu kemudian dilanjutkan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif yang merinci angka kenaikan tersebut, BBM bersubsidi Pertalite dinaikkan dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 dan solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800, selain kenaikan dua BBM bersubsidi, harga Pertamax juga dinaikkan menjadi Rp14.500 dari harga awal Rp12.500. Jika diperhatikan Pertalite dan Solar mengalami kenaikan sebanyak 30 persen sementara Pertamax 16 persen. Terlihat bahwa dari segi presentase maka kenaikan Pertalite dan Solar lebih besar Pertamax.

Kenaikan BBM selalu menjadi isu yang krusial karena pada umumnya kenaikan BBM akan disertai dengan kenaikan harga barang konsumsi karena kenaikan BBM berarti kenaikan biaya transportasi untuk mengangkut barang konsumsi tersebut. Mari meninjau mengapa pemerintah dalam menaikkan BBM dan mencoba menganalisis apakah langkah yang diambil oleh pemerintah saat ini merupakan langkah yang tepat.

Perlu digarisbawahi bahwa selama pemerintahan Presiden Joko Widodo kenaikan BBM telah dilakukan sebelumnya pada tahun 2014, kemudian pada bulan Maret 2015, selanjutnya 2018 dan terakhir pada bulan April 2022. Meski terhitung telah empat kali menaikkan harga BBM, namun juga perlu dicatat bahwa pemerintah juga pada beberapa kesempatan menurunkan harga BBM yaitu pada 1 Januari 2015, 19 Januari 2015 dan 1 April 2016.

Naik-turunnya harga BBM selama tujuh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo selalu dilandasi dengan alasan mengikuti fluktuasi harga minyak dunia serta beban subsidi yang perlu disesuaikan. Agar memahami mengapa harga BBM bisa fluktuatif dan apa sesungguhnya makna dari subsidi perlu diketahui alur dari produksi BBM. Perlu dipahami bahwa BBM yang digunakan oleh masyarakat hari ini berasal dari minyak mentah yang perlu melewati berbagai porses pengolahah terlebih dahulu agar siap digunakan sebagai bahan bakar kendaraan dan tidak begitu saja diambil dari dalam bumi namun ada berbagai proses mulai dari drilling atau pengeboran hingga refinering atau pengilangan, lebih lanjut tidak semua minyak yang digunakan oleh Pertamina berasal dari dalam negeri, karena besarnya kebutuhan masyarakat akan BBM maka Pertamina juga harus mengimpor beberapa persen dari kebutuhan minyak tersebut dari luar negeri.

Karena perlu mengimpor dari luar negeri maka tentu pemerintah melalui Pertamina perlu membayar kepada produsen minyak dan karena produksi minyak tersebut perlu melewati beberapa proses maka tenaga kerja yang bekerja dibalik setiap proses tersebut serta alat yang digunakan beserta biaya operasionalnya pun perlu dibayarkan. Maka harga minyak yang dibayarkan oleh konsumen sesungguhnya bukan sekedar membayar “minyak” nya saja namun termasuk juga membayar segenap proses yang telah dilewati hingga minyak tersebut siap dikonsumsi menjadi BBM. Maka, jika harga minyak dari produsen naik tentu pemerintah Indonesia, dalam hal ini sebagai konsumen minyak mentah perlu membayar lebih kepada si “produsen minyak.” Hari ini karena beberapa faktor khususnya konflik di Ukraina dan Rusia harga minyak mentah dunia melambung dengan cukup tinggi menyebabkan konsumen perlu membayar lebih tinggi dari biasanya, nah kenaikan harga minyak mentah ini tentu akan mengakibatkan domino effect kepada harga BBM yang notabene bersumber dari minyak mentah.

Maka sesungguhnya jika Pertamina ingin menentukan harga BBM dengan mengikuti perkembangan harga minyak dunia, BBM hari ini akan naik lebih dari 30 persen dan mungkin dapat berubah-ubah dalam rentang waktu yang tidak pasti, oleh karena itu pemerintah perlu memberikan subsidi agar ada kepastian harga BBM dan masyarakat tidak disulitkan dengan naik-turunnya harga BBM jika harga minyak dunia berfluktuasi. Lalu apa makna dari subsidi itu? Secara sederhana subsidi berarti sejumlah uang atau dana dari pemerintah untuk menanggung beban harga dari suatu komoditas dengan tujuan agar harga tersebut lebih terjangkau, maka subsidi BBM berarti sejumlah uang yang dibayarkan kepada produsen minyak dunia oleh pemerintah agar masyarakat tidak sepenuhnya menanggung beban pembayaran BBM.

Dalam teori ekonomi makro, subsidi seharusnya diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan atau sasaran subsidi, yang menjadi masalah dalam konteks BBM, BBM bersubsidi yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah juga turut digunakan oleh masyarakat menengah ke atas, bukti sederahana dapat terlihat dengan betapa mudahnya BBM bersubsidi yaitu Pertalite habis di berbagai SPBU. Karena konsumsi BBM yang kini cukup off-side ditambah dengan adanya kenaikan harga minyak dunia maka beban anggaran pemerintah yang digunakan untuk mensubsidi BBM pun membengkak, membuat pemerintah menjadi cukup kesulitan dalam mengatur beban anggaran tersebut. Maka pemerintah pun memutuskan langkah yang tepat adalah menaikkan harga BBM.

Keputusan pemerintah dalam menaikkan harga BBM ini dibarengi dengan keputusan Presiden untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat, langkah ini diharapkan dapat menjadi stimulus bagi masyarakat yang terkena dampak kenaikan BBM, namun pertanyaannya adalah: sampai kapan dana BLT akan bertahan? Kita dapat memahami alasan pemerintah hari ini menaikkan BBM, namun di sisi lain pemerintah juga perlu menyiapkan langkah konkrit dan jangka panjang agar harga BBM tidak terus menerus dinaik-turunkan.

Pertama, Indonesia harus mulai dengan serius memaksimalkan potensi untuk memproduksi minyak sendiri agar tidak terus bergantung pada impor minyak, kedua selain minyak Indonesia perlu memikirkan untuk beralih ke energi baru terbarukan atau menggunakan minyak B20 (yang bersumber dari tanaman Sawit). Stimulus pemerintah agar masyarakat menggunakan kendaraan listrik harus dimulai agar secara perlahan masyarakat meninggalkan kendaraan yang menggunakan BBM, karena perlu disadari bahwa konsumsi terbesar BBM hari ini bersumber dari kendaraan bermotor. Secara sederhana langkah ini dapat dimulai dengan membuat produksi kendaraan listrik macam Tesla dan Hyundai di Indonesia agar masyarakat memiliki insentif untuk mulai menggunakan kendaraan-kendaraan listrik.

Riuh-rendah yang terjadi hari ini karena masalah BBM sesungguhnya terjadi karena sejak dahulu pemerintah Indonesia tidak secara serius menggarap peralihan energi dari yang berbasis fosil (fossil fuel) seperti BBM ke energi terbarukan, oleh karena itu belajar dari berkali-kali naik turunnya BBM, pemerintahan Presiden Joko Widodo perlu menyiapkan langkah untuk beralih ke energi terbarukan agar di masa depan masyarakat tidak selalu dibuat panik dengan berita kenaikan BBM dan agar pemerintah tidak kesulitan dalam menanggung beban anggaran untuk mensubsidi BBM.

 

Penulis adalah Sekretaris Fungsional Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat GMKI

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *