oleh

Estetika Pemikiran Al-Hallaj

Oleh: Supadilah Iskandar

Suatu kali, pemikir dan ulama terkemuka al-Wasithi bertanya kepada Ibnu Suraij, bagaimana pendapatnya mengenai sosok al-Hallaj. Seketika itu dijawab oleh Ibnu Suraij, bahwa al-Hallaj adalah seorang berilmu yang hafal Alquran, ahli fiqih, ahli hadits, sejarah agama dan sunnah Nabi. Terkait dengan itu, al-Qusyairi dalam kitab Syaztuz-Zahab, justru menjawab dengan tegas, “Al-Hallaj adalah seorang sufi terbesar dalam sejarah peradaban Islam.”

Cendekiawan muslim Al-Azhar (Cairo), Zaki Mubarak menyamakan hukuman atas al-Hallaj yang sejajar dengan penyaliban Nabi Isa sekitar duapuluh abad lalu. Menurutnya, jika penyaliban al-Hallaj terjadi sejak puluhan abad lalu, boleh jadi akan dianggap dongeng sejarah yang bersifat fiktif. Namun kejadian itu tak lain merupakan fakta sejarah yang mutawatir, suatu perang antara ketenangan jiwa dan rasa takut, antara mata yang jernih dengan sorotan mata yang penuh olok-olok dan kebencian. “Ketika saya melihat makamnya di Baghdad,” tegas Zaki Mubarak, “berduyun-duyun orang berkunjung dan menziarahi kuburannya.”

Kini, semakin banyak ulama yang menyangsikan al-Hallaj dihukum mati lantaran perbedaan pendapat dengan kalangan ulama fiqih. Pemikirannya yang kontroversial perihal Hulul dan Nur Muhammad, dianggap memparalelkan semua agama-agama di dunia ini. Ajaran al-Hallaj lainnya yang dianggap nyeleneh, bahwa kejadian alam ini berasal dari Nur Muhammad. Baginya, penciptaan Muhammad itu terdiri atas dua wujud, yakni wujud qadim dan azali. Sementara, nabi-nabi lainnya sejak Adam dan sesudahnya, adalah pancaran dari cahaya Muhammad.

Jadi, agama-agama di dunia ini pada hakikatnya sama. Semua nabi itu mengajarkan ketuhanan Yang Maha Esa, yang di Indonesia dimanifestasikan ke dalam butir pertama dasar negara (Pancasila). Artinya, para bapak bangsa kita pun sepakat dengan universalitas ajaran monotheisme tersebut.

Di samping itu, pemikiran al-Hallaj tentang kesamaan substansi agama, justru dibenarkan oleh ulama-ulama besar seperti Abul Abbas Al-Bagdadi, Muhammad bin Khafif Asy-Syairazi, Ibrahim An-Nazarbazi, dan banyak lagi yang lainnya.

Pembredelan karya

Pemerintah di bawah rezim Khalifah Mu’tashim telah melakukan banyak pembredelan atas karya-karya al-Hallaj. Boleh dibilang, naskah yang berhasil diselamatkan adalah kitab “Thawasin al-Azal”. Ia diselundupkan oleh pengikutnya Ibnu Atha’, suatu pemikiran al-Hallaj yang mengaitkan antara ajaran tasawuf dengan filsafat Yunani. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa penguasa telah menghukum al-Hallaj karena motif-motif politik, namun mereka berlindung di balik legitimasi agama. Ia dituduh dalang yang berada di belakang gerakan sekte Qaramitah, yakni kelompok keagamaan yang memberontak dan ingin menggulingkan kekuasaan yang sah. Sekte tersebut didirikan oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad ke-9 Masehi. Ia memiliki paham sosialisme-ekstrim, bahwa harta benda dan perempuan petani adalah milik bersama.

Konon, seperti yang dituduhkan penguasa, sekte Qaramitah sering mengadakan teror, pernah menyerang Mekah di tahun 930 Maehi. Juga pernah merampas Hajar Aswad, yang kemudian dikembalikan oleh kaum Fatimi di tahun 951 Masehi. Sejak abad ke-10, mereka dianggap kekuatan separatisme yang merongrong kekuasaan dinasti Abbasiyah.

Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya al-Tasawuf fil Islam menyampaikan bahwa al-Hallaj adalah orang yang sangat mencintai ahlul bait (orang rumah). Dalam soal ahlul bait ini, ada sebagian ulama mengkhususkan pada sosok keluarga terdekat, yakni Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein dan Nabi sendiri. Sedangkan para ulama sunni menafsirkan keluarga Nabi dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya, hingga mertua dan menantunya. Karenanya, pihak penguasa dinasti Abbasiyah menuduhnya telah menyebarkan syiah-ekstrim yang menentang status quo kekuasaan. Belum lagi, pamor dan kredibilitas al-Hallaj sebagai sufi terkemuka di zamannya. Ceramah-ceramahnya selalu mengundang decak-kagum, hingga tak jarang muncul ultimatum dari pihak penguasa agar mewaspadai materi-materi yang didakwahkannya.

Itulah pula yang membuat para penguasa merasa berkepentingan untuk melacak dan membredel karya-karya besar al-Hallaj, di antaranya, Kaifa Kana wa Kaifa Yakun, al-Abad wal Ma’bud, Huwa Huwa, Sirrul Alam wa at-Thawasin al-Azal, dan banyak lagi yang lainnya.

Perihal Hulul

Konsep Hulul adalah, ketika Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia yang dipilih-Nya, yakni sosok manusia yang telah melenyapkan sifat kemanusiaannya melalui fana. Ada beberpa fase dalam perjalanan “fana”. Di antaranya, memfanakan pikiran, termasuk khayalan, perasaan, bahkan perbuatan, hingga semuanya ditujukan hanya kepada Tuhan semata. Kemudian, dilanjutkan kepada tingkatan fana al-fana, yakni peleburan wujud jati-diri manusia kepada kesadaran akan ketuhanan, hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan semata.

Paham tersebut didasari oleh konsep penciptaan Adam. Menurut al-Hallaj, sebelum Tuhan menciptakan makhluk-Nya, Dia hanya melihat Dirinya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadi dialog antara Dia dengan Dirinya, yakni suatu dialog tanpa kata-kata bahkan tanpa huruf. Yang ada hanyalah Dzat yang dicintai-Nya sendiri, karena kesucian dan kemuliaan-Nya. Cinta yang tak disifatkan itulah yang menjadi penyebab adanya makhluk, lalu diciptakan-Nya makhluk dari tiada bentuk menjadi bentuk yang seakan menyerupai diri-Nya, yakni Adam. Dengan demikian, pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancaran dari diri-Nya.

Mengenai konsep Hulul ini, Al-Hallaj pernah menulis, “Maha suci Dia Yang memiliki sifat kemanusiaan. Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang. Lalu, terlihat oleh makhluk-Nya dengan nyata, dalam bentuk manusia yang makan dan minum.” Dalam syair lainnya, ia pun pernah menulis, “Aku adalah rahasia Yang Maha Besar, tetapi Yang Maha Besar bukanlah aku. Aku hanyalah satu dari yang benar, maka bedakanlah aku.”

Dalam literatur tasawuf dikenal Al-Hulul Al-Jawari, yakni suatu keadaan di mana esensi yang satu dapat mengambil tempat pada yang lain, tetapi tanpa adanya kesatuan, misalnya air yang bertempat di dalam bak plastik. Sementara, yang dikembangkan al-Hallaj adalah al-Hulul As-Sayroni, yakni bersatunya tempat dan isi dalam satu esensi, misalnya air yang menyuburkan bunga-bung mawar.

Nur Muhammad

Mengenai ajaran Nur Muhammad ini sering didakwahkan penceramah muda Arrazy Hasyim, lulusan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Bahwa kejadian alam semesta ini berasal dari cahaya Muhammad. Dalam konsep al-Hallaj tentang Haqiqah Muhammadiyah, bahwa Nabi Muhammad terjadi dari dua wujud yaitu wujud qadim dan azali, serta sebagai manusia (Nabi). Dari cahaya yang qadim tersebut diambil cahaya-cahaya untuk menciptakan segala makhluk.

Meskipun bersifat qadim, Nur Muhammad berbeda dengan qadimnya Allah, tetapi perbedaannya hanyalah pada namanya saja. Qadim pada zat Allah, disebut lebih dahulu, sedangkan rupa yang kedua adalah Muhammad sebagai manusia. Allah menciptakan makhluk-Nya yang pertama kali melalui nur-Nya yang berasal dari sebagian dirinya, yang disebutnya sebagai Nur Muhammad. Jadi, Nur Muhammad itu telah ada sejak dulu sebelum ada penciptaan-penciptaan makhluk lainnya. Nur Muhammad telah bersama-sama dengan Al-Haqq sejak dulu.

Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya insan kamil sebagai manifestasi sempurna pada manusia. Menurut al-Hallaj, Nabi Isa adalah al-syahid ala wujudillah. Dalam dirinya terdapat wujud kewalian yang sesungguhnya. Namun demikian, Nur Muhammad adalah pusat kosmopologi dan pusat kesatuan para nabi.

Nabi-nabi sebelumnya hanyalah sedikit saja dari cahaya Nur Muhammad. Dengan demikian, Muhammad sebagai manusia adalah Rasulullah yang bersifat baharu (hudust). Adapun hakikat cahaya Muhammad yang berupa “Nur” bersifat qadim dan azali. Tabiat ketuhanannya yang bersifat qadim disebut lahut, sedangkan tabiat kemanusiaannya yang bersifat baharu disebut nasut.

Pemikiran yang mengandung spiritualitas tinggi tersebut, terdapat pula pada karya-karya Al-Misri, Ibnu Arabi hingga Ibnu Taymiyah. Lalu, apakah alasan penguasa untuk menghukum dirinya secara tak manusiawi? Jika para penguasa menghukum pelaku makar atas tuduhan meresahkan masyarakat, mestinya mereka sanggup menghukum Nabi Isa maupun Al-Hallaj, berdasarkan cinta dan sayang demi menentramkan hati rakyatnya, bukan atas dasar dendam dan kebencian.

 

Penulis adalah Peneliti sosial dan keagamaan, menulis berbagai esai dan prosa di harian-harian nasional, baik cetak dan online

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *