oleh

Maestro Filosof Muslim dari Persia

Oleh: Muhamad Pauji

Imam Al-Ghazali menguasai fikih mazhab Syafi’i dari gurunya, Imam Haramain al-Juwaini. Di usia muda ia sudah menguasai mantiq, ushul fuqh, hikmah dan filsafat. Setelah sang guru wafat, berangkatlah ia ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik, suatu majlis tempat berkumpulnya para ahli ilmu. Tak berapa lama, Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad. Di usianya yang ke-30, ia menetap sambil mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah, hingga kemudian ia dikenal luas di kalangan para ahli ilmu.

Di tahun 489 Hijriyah, Al-Ghazali mendatangi Baitul Maqdis, kemudian berangkat ke Damaskus dan tinggal selama beberapa waktu di masjid Jami Damaskus. Lalu, ia berguru lagi pada Syekh Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi, dan menetap di pojok masjid Jami al-Umawi, yang kemudian dikenal sebagai Al-Ghazaliyah. Di sanalah kemudian lahir karyanya yang terkenal, Ihya Ulumiddin.

Sebagai penuntut ilmu, kebanyakan perjalanan hidup para ulama tampak seragam, tak beda jauh dengan yang lainnya. Tetapi, sejarah hidup Al-Ghazali rupanya banyak kelokan yang sangat dramatis. Dalam otobiografi yang ditulisnya (Al-Munqidz min al-Dlalal) ia menceritakan perjalanannya yang amat berliku dalam mencari kebenaran sejati, yang pada akhirnya ia sampai kepada pengetahuan yang disebutnya “ilmu al-yaqin”.

Keyakinan itu sebagaimana kita melihat adanya api yang benar-benar keluar dari korek yang kita pantikkan, atau seperti kita meyakini bahwa angka 9 pasti lebih banyak dari angka 5.

Sebagai pemuda, Al-Ghazali banyak terlibat dalam kehidupan sosial, meskipun ia banyak berbeda pandangan dengan para tokoh agama yang terlampau akrab dengan penguasa (status quo). Selama menjadi dosen di perguruan tinggi, Al-Ghazali melahirkan beberapa buku karangannya, di antaranya adalah “Tahafut al-Falasifah”, suatu pemikiran kritis yang menyoal pendirian klasik para filosof pada zaman itu.

Al-Ghazali kemudian memutuskan hengkang dari posisinya yang penting di perguruan tinggi. Tiba-tiba ia merantau lagi keluar dari wilayah Baghdad. Beberapa sarjana berpendapat, bahwa Al-Ghazali pernah mengalami kekecewaan dengan praktik keilmuwan dan keagamaan yang berjalan di dunia akademisi. Baginya, kesibukan ulama dan akademisi hanya berlomba pada kekayaan duniawi, takhayul, atau kesibukan mengejar kemegahan dan status sosial. Selama beberapa tahun ia menghilang. Orang-orang kemudian bertanya-tanya, ke manakah gerangan Al-Ghazali, pemikir jenius yang kontroversial itu? Apakah ia sedang sakit, ataukah sedang mengembara lagi?

Konon, selama tahun-tahun itu ia mengalami “uzlah” untuk menarik diri ke kampung halaman (Khurasan), kemudian mendirikan saung kecil dengan mengajar beberapa murid di pondoknya. Berarti, Al-Ghazali berputar haluan dari seorang guru besar di ibukota, menjadi ustaz yang hidupnya sederhana di kampung halamannya. Lalu, apa alasannya?

Dari karya-karya monumentalnya, kita bisa membaca kegelisahan Al-Ghazali, yang saat itu menelisik kecenderungan gejala sosial yang tidak sewajarnya. Al-Ghazali membaca gejala-gejala yang dilakukan kebanyakan ulama saat itu sebagai “al-mutarassimun”, yakni orang-orang yang ja’im, hanya sibuk memamerkan ilmu-ilmu agamanya. Mereka berceramah, menyebut dalil-dalil naqli, mengaku sebagai pembaca banyak kitab, tetapi pola pikir mereka amat sempit dalam memahami kerangka api Islam yang sebenarnya. Hanya pemahaman agama tekstual yang dangkal, jumud, dan obsolete. Hanya omongan retorika yang sibuk mempolitisasi agama dan firman Tuhan.

Tentulah setiap penulis dan intelektual tidak bisa berdiri sendiri. Ia mesti memiliki rujukan dari kitab-kitab sebelumnya. Tulisan-tulisan Al-Ghazali diakuinya banyak merujuk dari karya-karya besar lainnya. Selain Alquran dan hadist, beberapa karangan para ulama dirujuk oleh karya-karyanya, diantaranya “Al-Ta’aruf li Madzhab at-Tasawuf” (Al-Kalabadzi), “Ri’ayah li Huquqillah” (Imam al-Harits al-Muhasibi), “Qutul-Qulub” (Abu Thalib al-Makki), termasuk juga “Risalah al-Qusyairiyah” (Imam al-Qusyairy).

Satu hal yang menarik pada karya-karya Al-Ghazali adalah penjelasan rasional pada setiap goresan penanya. Ia seakan mempraktikkan betul sabda Nabi yang menyatakan “addinu hual aqlu, la dinan liman la aqla lahu” (Tidak beragama dengan baik orang yang tidak mengoptimalkan kemampuan berpikirnya).

Bagi Al-Ghazali, keimanan manusia (faith) tidak akan menemukan kedewasaannya, jika manusia beriman, tak mampu mempertanggungjawabkan imannya dalam bahasa rasional. Dengan bahasa yang berbeda sosiolog Auguste Comte menyatakan adanya evolusi pemikiran manusia dari tingkatan faith yang dihayati oleh penganut agama formal, menuju kepada filsafat dan metafisika.

Di sinilah pemikiran Al-Ghazali kembali menunjukkan keabsahannya, bahwa dalam penghayatan iman yang dewasa, terjadi peningkatan dari kepercayaan yang asal membeo (ketaatan buta), agamawan menurut hukum, menuju kepada iman yang mengikutsertakan segala bakat dan potensi manusia yang dianugerahkan Tuhan, yakni akal dan pikiran.

Kecerdasan Orang Persia

Sebagaimana banyak para ahli ilmu hikmah dan kalam yang lahir di Persia, demikian pula halnya dengan Al-Ghazali.  Ia memiliki berbagai hal yang mumpuni di berbagai bidang pengetahuan. Ia pantas disebut sang teolog, fuqoha, filosof, bahkan sampai sebutan sufi. Kita bisa melihat khazanah keilmuan Al-Ghazali dari karya-karyanya yang terus diterjemahkan ke ratusan bahasa dunia hingga hari ini.

Di satu sisi, Al-Ghazali pantas disebut sebagai hujjatul-Islam yang cukup piawai mempertahankan ajaran Islam dari berbagai intervensi pemikiran. Ia mahir mengemukakan argumentasi jitu dalam menghadapi berbagai pengaruh filsafat Barat yang mendewakan rasio dan keilmuan yang empiris. Di sisi lain, ia pun sanggup menghadapi pemikiran kebatinan tradisional, dengan segala pengaruh takhayul dan khurafat yang merusak originalitas ajaran Islam.

Perihal nama Al-Ghazali, sebagian penulis berpendapat bahwa asal katanya mengacu dari nama daerah Ghazalah di Thusi, Persia, tempat kelahirannya. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam karyanya,  Al-Mishbah Al-Munir. Sebagian lagi mengatakan nama tersebut mengacu dari keahlian keluarganya dalam kerajinan tenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al-Ghazzali). Ayah Ghazali memang seorang pengrajin kain shuf yang dibuat dari kulit domba, untuk dijualnya di kota Thusi. Menjelang wafat ia mewasiatkan pengasuhan anaknya kepada orang yang dipercaya dari teman-temannya.

Orang tuanya berpesan kepada teman karibnya itu, “Saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab), namun saya ingin memperbaiki apa yang telah saya lewati kepada anak saya ini. Tolong ajari dia khat kepada guru yang pantas, dengan menitipkan peninggalan harta yang saya wariskan ini.”

Selang beberapa tahun setelah ayahnya wafat, Al-Ghazali dimasukkan ke sebuah surau (madrasah) agar ia mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Terkait dengan ini, Al-Ghazali menulis kata-kata bersayap: “Awalnya saya menuntut ilmu bukan karena Allah Ta’ala, tetapi ilmu yang baik akan selalu menolak, kecuali jika diperuntukkan karena Allah Ta’ala.”

Menjelang wafat

Penulis dan ulama terkemuka Imam Adz-Dzahabi menyampaikan kesaksian, bahwa di usia senjanya, Al-Ghazali kembali meneliti hadits-hadits Shahih Bukhari Muslim. Baginya, Al-Ghazali adalah sosok pemikir Islam yang unik dan langka, terutama dalam perjalanan hidupnya mencari hakikat kebenaran. Ia pernah mempelajari tasawuf di usia muda, kemudian berpindah kepada ilmu kalam, ushul fiqh, filsafat, kemudian kembali lagi ke tasawuf yang mengacu langsung pada mazhab salaf.

Terlepas dari segala gunjingan maupun kritikan yang dialamatkan kepadanya, faktanya pemikiran Al-Ghazali tetap eksis dan valid hingga melintasi berbagai tempat dan zaman. Karya-karyanya tidak berhenti dibicarakan orang, baik di kalangan muslim maupun non-muslim. Pemikirannya tidak hanya mencakup ilmu agama atau masalah keislaman, tetapi juga ilmu pengetahuan umum. Pengaruh pemikiranya tidak hanya mencakup wilayah timur saja, tetapi juga di dunia barat.

Pada akhirnya, Al-Ghazali menilai bahwa kelompok sufilah yang benar-benar berjalan di jalan Allah. Baginya, kaum sufi adalah pemilik keadaan, bukan orang-orang yang hanya ahli berkata-kata. Metode yang ditempuh kalangan sufi adalah metode praktis dan teoritis (amal dan ilmu) sekaligus. Pernyataan ini terungkap dari buku yang ditulis di usia senjanya, Al-Munqid Min Ad-Dhalal: “Sekarang saya merasa yakin, orang-orang sufilah yang benar-benar berjalan di jalan Allah. Prilaku mereka adalah sebaik-baik prilaku. Jalan hidup mereka adalah sebaik-baik jalan hidup. Akhlak mereka adalah sebersih-bersihnya akhlak. Kalaupun digabungkan antara akal para filosof dengan ilmu para ulama yang memahami rahasia-rahasia syariat, untuk mengubah prilaku dan akhlak para sufi agar hidup lebih baik, mereka takkan sanggup melakukannya.”

Salah seorang saudara Al-Ghazali, sebagai pemikir dan ulama besar, Abul Faraj Ibn al-Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya Al-Ghazali dalam bukunya, “Ats-Tsabat Indal Mamat”. Al-Jauzi mengisahkan permintaan Al-Ghazali agar memberikan kain kafannya. Selesai berwudhu dan salat dua rakaat, ia pun berkata, “Tolong berikan kain kafan saya.”

Ia pun mencium kain kafan itu lalu meletakkan pada kedua matanya. “Sekarang saya akan patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”

Al-Ghazali meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal tepat menjelang matahari terbit, pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir, tahun 505 Hijriyah. Kemudian, ia pun dikuburkan di pemakaman Ath-Thabaran, di daerah Thusi, Persia (Iran). ***

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *