oleh

Spirit Islam Sebagai Pesan Ilahiyah

Oleh: Dr. Mu’min Roup, MA

Sumber kemajuan Islam sebenarnya terkandung dalam prinsip-prinsip ajaran Islam itu sendiri. Ia tampil pertama kali di wilayah jazirah Arab, dengan mengeluarkan masyarakatnya dari tradisi dan budaya barbarian. Ia mempersatukan ras dan etnik yang beragam, membawa mereka dari politeisme yang percaya pada segala dewa-dewi yang njelimet, menuju kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa.

Restorasi peradaban dan penyembahan kepada Allah tak lain merupakan kekuatan yang prinsipil dalam peradaban Islam. Tak ada kekuatan yang dapat mencegah dan menghalau perkembangan Islam hingga ke segenap penjuru dunia. Memang ada perpecahan dan perang saudara di antara mereka sendiri, namun hal tersebut hanya soal penafsiran akan ajaran Islam, bukan persoalan prinsipil dari esensi ajaran yang diteladankan oleh Rasulullah Saw.

Jika pun pernah terjadi kemunduran di suatu wilayah, hingga terjadi perpecahan, hal tersebut justru bertentangan dengan ajaran Islam yang substantif dan prinsipil. Jadi, faktor utamanya adalah kebodohan, atau setengah-setengah memahami Islam, lemahnya semangat berkorban, hilangnya etos kerja dan rasa percaya diri, kemalasan menuntut ilmu untuk terus menelusuri dinamika ajaran Islam universal, yang selalu sesuai dan selaras dengan konteks budaya dan semangat zamannya.

Pendangkalan

Kebodohan dalam memahami Islam akan membuat penganutnya terjerumus ke dalam kesesatan beramal. Inilah yang dalam terminologi modern disebut “ultra konservatif”. Sebaliknya, dunia hiper-modern yang menghamba pada intelektualisme, juga telah membius sebagian umat Islam pada rasionalisme tulen yang menyimpang dari prinsip-prinsip spiritualitas Islam.

Cendekiawan muslim Sakib Arsalan pernah menegaskan, bahwa suatu bangsa akan mengalami pendangkalan jika digiring untuk mengutuk segala yang berbau lama sebagai kuno dan usang. Padahal, perlu dikaji lebih mendalam agar dapat dipetik hikmah dari nilai-nilai intrinsiknya. Jangan mentang-mentang berbau “Belanda” lantas dikutuk sebagai “kumpeni” yang zalim dan menyesatkan. Jangan mentang-mentang PKI dan komunis, lantas seenaknya kita mengklaim “kafir” tanpa merasa perlu mendalami sumber-sumber ajaran Marxisme yang paralel dengan prinsip-prinsip sosialisme dan humanisme yang terkandung dalam ajaran Islam.

“Orang semacam itu akan menganggap segala perubahan sebagai bid’ah yang bertentangan dengan ajaran Islam,” tegas Sakib Arsalan. “Orang-orang yang terjerumus ke dalam gerakan ultra-konservatif cukup membahayakan bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara, karena mereka akan melanggengkan kejumudan dan kefakiran, dengan mereduksi bahwa Islam hanyalah membicarakan urusan akhirat saja. Tidak jarang di antara mereka yang memerangi kemajuan sains dan teknologi, serta mengutuknya sebagai praktik orang-orang kafir, sehingga mengompori generasi muda agar menghindari manfaat ilmu pengetahuan.”

Cendekiawan muslim Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho menganjurkan umat Islam agar banyak belajar dari kemajuan peradaban Eropa, Amerika hingga Jepang. Tak terkecuali Muhammad Iqbal yang juga menyarankan generasi muda muslim agar meninggalkan segala yang negatif di masa lalu, serta memetik hikmah dari kebaikan yang ada. Menurutnya, Islam bukanlah agama skeptis, pesimis dan konservatif, melainkan agama yang terus bergerak maju, aktif dan dinamis.

Sehaluan dengan ungkapan Ibnu Taymiyah yang justru menegaskan bahwa nilai-nilai luhur pradaban Islam sudah meliputi kearifal lokal yang ada dalam tradisi Yunani serta negeri-negeri berperadaban di abad pertengahan. Sehingga, tanpa mengambil ajaran Plato maupun Socrates, di dalam Islam sudah terkandung ajaran universal yang sekaligus meliputi unsur Platonis maupun Aristotetelian. Di sisi lain, kemajuan Eropa sejak revolusi industri hingga era milenial ini, dikarenakan mereka menggunakan prinsip “jihad” atau pengorbanan yang terkandung dalam tradisi lokal dan ajaran agama mereka sendiri.

Belajar dari Eropa

Untuk meraih kemajuan sains dan teknologi, bangsa-bangsa Eropa dan Amerika telah mengeluarkan banyak sumber-sumber dana dan SDM yang melelahkan. Bahkan, menurut Hafis Azhari, cendekiawan muslim dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, bangsa-bangsa Eropa telah banyak mengerahkan segenap tenaga, harta dan kekayaan intelektual mereka untuk kemaslahatan, sehingga tak jarang karya-karya besar mereka, justru baru diakui setelah para kreatornya sudah wafat beberapa dekade hingga abad silam.

Bangsa-bangsa Eropa juga terampil menjaga peradaban lokal (local wisdom). Hal ini menyiratkan keteguhan hati mereka pada identitas kebangsaan, serta tak mau menjerumuskan diri pada dekadensi moral, ketika banyak penguasa-penguasa Islam lebih mementingkan hedonisme dan terhanyut pada gaya hidup yang menghamba kebendaan, harta, popularitas, hingga mencandu pada dinasti kekuasaan (nepotisme).

Sementara itu, pelajaran dari negeri Timur tak lain adalah kemajuan Jepang yang juga tetap eksis dengan identitas kebangsaannya. Hingga memasuki abad ke-19, masyarakat Jepang kurang lebih sama dengan negeri-negeri Asia lainnya. Namun, setelah era restorasi Meiji dan mengedepankan pentingnya pendidikan, ia dapat tampil mencengangkan, menyamai kedudukan bangsa-bangsa maju lainnya. Hal tersebut lantaran mereka mau berjuang dan berkorban untuk mendalami ilmu-ilmu Eropa. Mereka membangun industri yang serupa dengan Eropa selama lebih dari 50 tahun.

Spirit Islam

Sebagai bangsa meyoritas muslim, hendaknya kita membangun kemajuan negeri sambil tetap berpegang kepada Alquran sebagai inspirasi, dan bukan sekadar aspirasi. Dalam ajaran Islam terkandung nilai-nilai luhur yang selaras dengan pambangunan peradaban sebagai tugas manusia selaku “khalifah”. Jika masyarakat sanggup menjadikan Alquran dan sunah Nabi sebagai inspirasi, niscaya bangsa kita akan melejit mengungguli bangsa-bangsa Eropa, karena kemegahan teknologi yang dimanfaatkan akan berpadu dengan peran manusia sebagai rahmatan lil alamin.

Jadi, kualitas kemanusiaan kita bukan semata-mata nasionalisme dangkal bagi kepentingan bangsanya, juga bukan semata demi kepentingan manusia seiman dan seagama, melainkan demi untuk semua manusia (ukhuwah insaniyah) bahkan demi untuk lingkungan semesta (ukhuwah makhluqiyah). Di kalangan NU sudah mulai disarankan pentingnya resolusi jihad yang mengacu dari pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari sebagai pejuang yang memerdekakan RI. Namun kini, seruan itu harus terus berkembang kepada ajakan Bung Karno, bahwa kita perlu meningkatkan kualitas peradaban agar menjadi manusia pasca-Jawa, bahkan pasca-Indonesia.

Untuk itu, menjadikan Alquran dan sunah sebagai inspirasi, tak bisa lain kecuali kita harus berjiwa terbuka dan independen. Kita harus legawa dan rendah-hati sehingga mau belajar dan memetik hikmah dari budaya dan peradaban mana pun. Keterbukaan yang dicanangkan mesti keterbukaan yang bersifat kritis, analitis dan dialogis. Meskipun tetap menjadikan Alquran sebagai sandaran demi mempertahankan otentisitas keagungan Islam.

Prinsip-prinsip modernitas yang bersifat profan dan sekuler, tidak lantas menjermuskan kita kepada sekularisme dan hedonisme. Semangat jihad yang dikobarkan untuk menegakkan keadilan dan melawan kesewenangan penjajah, harus terus dipacu sesuai konteks zamannya. Kini, perjuangan dan pngorbanan itu ditujukan demi untuk meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi, dalam persaingan yang elegan dan santun. Bukan dalam bentuk persaingan untuk memenangkan yang satu, serta mengorbankan yang lainnya.

Itulah yang dicita-citakan dalam spirit modernisasi Islam, baik oleh Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridho hingga Muhammad Iqbal. Bahkan, Sakib Arsalan yang dijuluki “amirul bayan” terus mengobarkan semangat juangnya, bahwa Islam dan modernitas tak ubahnya dengan kekuatan iman dan ilmu sekaligus. Hal ini senada dengan adagium bahwa seorang ahli ibadah tanpa ilmu yang mendalam, ia dapat tersesat dan menyimpang dari jalan Tuhan (kebenaran). Namun sebaliknya, seorang ahli ilmu tanpa kekuatan iman, ia akan memanfaatkan kecerdasannya untuk berkhianat melestarikan kekayaan dan kekuasaan duniawi semata.

Terkait dengan ini, cendekiawan muslim Azyumardi Azra menegaskan, bahwa kemunduran peradaban Islam tidal selamanya benar. “Pada prinsipnya, pesan-pesan keislaman merupakan agenda Tuhan yang dijalankan melalui para utusan-Nya. Jika suatu bangsa di suatu negara tidak konsisten berpijak pada prinsip-prinsip Islam (termasuk Arab), secara esensial Islam akan tetap mengalami pertumbuhan pada bangsa dan negara lain, dengan para pembawa risalah yang menerapkan jejak-langkah dari keteladanan hidup Rasulullah Saw.

Kini, masyarakat muslim dunia tak boleh berpangku-tangan atau bergantung pada peradaban Barat seperti dekade-dekade lalu selepas dari penjajahan mereka. Kekayaan literatur Islam akan memberikan cakrawala berpikir bagi kaum muda, agar mereka memacu perjuangannya dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip Islam otentik, seperti yang diajarkan Rasulullah, para sahabat, para tabi’in, hingga peran para waliullah yang terus eksis membawa misi kebaikan dan kebenaran hingga akhir zaman. []

 

Penulis adalah Peneliti dan Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *