oleh

Prospek Pertanian Pulau Sumba di Era Pandemi Covid-19

Oleh : Meriana Ina Kii, M.Si

Saat ini dunia mengalami ujian yang sangat berat, yaitu pandemi COVID-19 yang membawa dampak yang sangat dasyat, tidak hanya sektor kesehatan namun juga ke berbagai sektor kehidupan.

Mungkin karena alasan itulah saya diminta untuk menulis tentang prospek pertanian di Sumba di era pandemi. Walaupun demikian, satu hal ingin saya soroti yang masih belum menjadi perhatian banyak orang tapi berpengaruh langsung dengan pertanian di samping pandemi adalah berkaitan dengan iklim dimana tahun ini terjadi fenomena La Nina yang berdampak lebih nyata di bidang pertanian secara khusus di Pulau Sumba.

Sehingga dalam tulisan ini, saya mencoba menganalisis dua faktor ini, fenomena La Nina dan Prospek Pertanian di Sumba di era pandemi.

Pertama, sektor pertanian merupakan zona ekonomi yang paling kuat bertahan dari dampak pandemi Covid-19 disaat sektor jasa dan manufaktur menjadi zona yang paling terpukul. Prospek pertanian di tengah pandemi Covid-19 masih cukup bagus. Di tengah angka penularan Covid-19 yang terus berlipat akhir-akhir ini dan wacana penutupan kembali beberapa wilayah, saya berpandangan bahwa hal ini relatif tidak mengganggu produksi petani.

Apalagi petani subsistem karena ia berproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Produksi pertanian seperti padi, jagung, kacang tanah, kacang hijau dan umbi-umbian serta hortikultura seperti sayuran menjadi andalan peningkatan pendapatan ekonomi petani di Sumba di tengah pandemi Covid-19.

Para petani mengembangkan pertanian palawija itu di lahan kering juga lahan persawahan dengan berbagai jenis tanaman. Pertanian palawija dan hortikultura di Sumba cukup menggeliat dan banyak petani mengembangkan tanaman tersebut karena permintaan pasar meningkat. Produksi pertanian itu dipasok ke pasar tradisional.

Selain itu, pemanfaatan lahan pekarangan secara tepat baik pemilihan jenis tanaman maupun pola tanamnya sangat berkontribusi pada ketahanan kesehatan dan pangan harian non beras, terlebih pada saat terjadi kondisi darurat sosial ekonomi.

Persepsi dan implementasi pemanfaatan pekarangan tidak dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan tetapi justru lebih didorong oleh faktor pengalaman empirik dan konstruksi sosial budaya. Terbukti bahwa masyarakat yang menanam sayur di pekarangan lebih tenang dalam menghadapi masa darurat pembatasan aktivitas sosial dan fisik di luar rumah. Memanfaatkan pekarangan dengan baik mendorong ketahanan pangan keluarga dan mengakibatkan tidak resistensi pada fluktuasi pasar.

Kedua, sebanyak 85 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim hujan menjelang akhir Desember 2020. Sementara itu, fenomena La Nina (anomali iklim global yang ditandai dengan lebih dinginnya suhu permukaan laut Samudera Pasifik dari normalnya) mempengaruhi kondisi curah hujan di Indonesia. La Nina menyebabkan peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia bahkan ada daerah-daerah yang peningkatan curah hujannya melampaui 40 persen.

Menurut BMKG, curah hujan tinggi pada Januari hingga April 2021 berpeluang terjadi di bagian barat Sumatera, sebagian besar Jawa, sebagian besar Bali, Nusa Tenggara Timur ( termasuk Sumba), Nusa Tenggara Barat, bagian tengah utara Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.

Peningkatan curah hujan akibat La Nina ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan cadangan air untuk keperluan pertanian di daerah kering dan semi kering seperti pulau Sumba. Selain itu, mendatangkan peluang percepatan tanam, serta perluasan area tanam padi di lahan sawah irigasi, tadah hujan maupun di ladang seperti jagung, kacang tanah, kacang hijau dan ubi kayu untuk meningkatkan ketahanan pangan di era pandemi.

 

Penulis: Alumnus IPB Bidang Study Klimatologi

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *