RADARNTT, Jakarta – Pendidikan bisa menjadi faktor utama dalam kebijakan publik untuk memperkuat sikap kemanusiaan publik.
Demikian pandangan ilmuan politik, Prof Saiful Mujani, pada program Bedah Politik episode “Siapa Tidak Memanusiakan LGBT dan Yahudi?” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 4 Agustus 2022.
Saiful menjelaskan, berdasarkan data survei SMRC (Mei 2022), ada kecenderungan bahwa warga yang memiliki pendidikan lebih tinggi (dibanding yang lebih rendah) relatif lebih setuju dengan pandangan bahwa baik LGBT maupun Yahudi wajid dihargai sebagai manusia.
Ada 52 persen warga yang berpendidikan tinggi setuju dengan pandangan bahwa LGBT wajib dihargai sebagai manusia, sedangkan hanya 39 persen warga berpendidikan SD yang menyatakan hal serupa. Warga berpendidikan tinggi yang setuju dengan pandangan bahwa orang Yahudi wajib dihargai sebagai manusia sebesar 63 persen, sementara yang berpendidikan SD sebesar 55 persen.
Saiful menyatakan bahwa temuan tentang pendidikan ini cukup penting. Aspek sosial-ekonomi bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan perbaikan atas sikap dan persepsi kemanusiaan warga.
Dilihat dari perilaku pemilih partai politik, yang menghargai LGBT sebagai manusia mayoritas ditemukan pada pemilih Nasdem (65 persen) dan Demokrat (54 persen). Sementara hanya 39 persen pemilih PKB setuju dengan pandangan bahwa LGBT wajib dihargai sebagai manusia, Gerindra 39 persen, PKS 39 persen, PPP 36 persen, dan PAN 31. Sedang pemilih PDIP dan Golkar terbelah dalam menyikapi persoalan ini, 45 persen (PDIP) dan 46 persen (Golkar) setuju bahwa LGBT wajid dihargai sebagai manusia.
Saiful menyoroti massa pemilih PKB. Secara umum, pemilih PKB cukup inklusif dalam menilai hubungan antara agama dan negara. Mereka cenderung memperlakukan agama setara di hadapan negara. Tapi untuk soal LGBT, ternyata pemilih partai ini memiliki sikap yang berbeda. Ada 56 persen massa pemilih PKB yang tidak setuju bahwa LGBT wajib dihargai sebagai manusia.
Sementara untuk kasus Yahudi, secara umum, masyarakat Indonesia cukup menghargai orang Yahudi sebagai manusia. Dari aspek pemilih partai, ada 82 persen pemilih NasDem yang setuju dengan pandangan bahwa orang Yahudi wajib dihargai sebagai manusia, Demokrat 75 persen, PKB 68 persen, Golkar 65 persen, PDIP 62 persen, Gerindra 56 persen, PKS 54 persen, PPP 49 persen, dan PAN 26 persen.
Berdasarkan keanggotaan Ormas Islam, ada 44 persen anggota Nahdlatul Ulama (NU) yang setuju dengan pandangan bahwa LGBT wajib dihargai sebagai manusia, yang tidak setuju 50 persen.
Sementara ada 48 persen anggota Muhammadiyah yang setuju pandangan tersebut, yang tidak setuju 39 persen. Anggota organisasi masjid, 42 persen setuju, 55 persen tidak setuju. Anggota majelis taklim, 40 persen setuju, 57 persen tidak setuju.
Sementara ada 63 persen anggota NU, 63 persen anggota Muhammadiyah, 60 persen anggota organisasi masjid, dan 62 persen anggota majelis taklim setuju orang Yahudi wajib dihargai sebagai manusia.
Saiful menilai bahwa Yahudi tidak menjadi faktor yang membuat anggota organisasi massa Islam negatif pada kemanusiaan, kecuali pada aspek soal LGBT.
Dalam aspek gender, tidak ada perbedaan signifikan antara sikap laki-laki dan perempuan terhadap LGBT. Yang berbeda adalah sikap pada Yahudi berdasarkan gender, 63 persen laki-laki setuju bahwa Yahudi wajib dihargai sebagai manusia, sementara 57 perempuan memiliki pandangan serupa.
Desa-kota juga demikian. Pandangan penduduk desa dan kota relatif sama mengikapi LGBT, 45 da 44 persen yang setuju LGBT wajib dihargai sebagai manusia. Sementara untuk Yahudi, ada 65 persen warga perdesaan dan 55 warga perkotaan yang menilai Yahudi wajib dihargai sebagai manusia.
Saiful menilai perbedaan sikap orang desa dan kota tentang Yahudi kemungkinan karena informasi mengenai Yahudi lebih banyak diakses oleh orang kota.
“Yahudi adalah isu orang kota,” kata dia.
Pada demografi umur, kalangan yang lebih muda relatif lebih bisa menerima LGBT sebagai manusia dibanding kelompok umur yang lebih tua, 50 persen untuk kelompok umur 25 tahun ke bawah dan 42 persen untuk kelompok umur 55 tahun ke atas. Sementara untuk sikap pada Yahudi, umur tidak menjadi pembeda yang signifikan, semua kelompok umur relative bisa menerima.
Dalam latar belakang keagamaan, orang yang beragama Islam cenderung lebih kuat menolak LGBT dan Yahudi dibanding yang beragama lain. Hanya ada 43 persen orang Islam yang setuju LGBT wajib dihargai sebagai manusia, sementara kalangan non-Islam 55 persen. Hanya ada 58 persen warga Islam yang menerima bahwa Yahudi wajib dihargai sebagai manusia, sementara kalangan non-Islam 78 persen.
“Ini tidak mengejutkan,” kata Saiful.
Dia menyebut ini ada hubungannya dengan intensitas konflik di Timur Tengah yang diwarnai sentimen agama.
Dari sisi etnisitas, ada 60 persen orang Bugis dan 51 persen orang Batak yang lebih bisa menerima LGBT. Etnis yang lain di bawah 50 persen.
Saiful menyatakan bahwa perlu dipelajari lebih jauh mengapa orang Bugis lebih bisa menerima LGBT. Ada temuan antropologis, kata dia, yang menyebut bahwa orang Bugis tidak melihat manusia dalam hal orientasi seksual secara hitam putih.
“Itu menarik. Mengapa orang Bugis punya pandangan seperti itu?” Tanya dia.
Sementara untuk Yahudi, tingkat penerimaan tertinggi datang dari orang Batak (79 persen), disusul Minang (64 persen), dan Jawa (62 persen). Etnis lain di bawah 60 persen. Sementara penerimaan terendah berasal dari etnis Madura (34 persen) dan Betawi (43 persen).
Saiful melihat bahwa faktor agama berperan mengapa etnis Batak paling tinggi dan Madura serta Betawi paling rendah menerima orang Yahudi sebagai manusia.
Dalam aspek pendapatan, warga yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung lebih bisa menerima dan menghargai LGBT sebagai manusia dibanding yang berpendapatan lebih rendah. Sementara untuk Yahudi, sikap warga berdasarkan pendapatan yang berbeda kurang lebih sama.
Tingkat penerimaan paling rendah pada LGBT berdasarkan wilayah ada pada Sumatera (33 persen) dan Jawa Barat (38 persen). Tingkat penerimaan tertinggi adalah wilayah timur Indonesia (56 persen) dan DIY dan Jawa Tengah (50 persen). Hal yang sama juga terjadi pada kasus Yahudi. Tingkat penerimaan atau yang setuju bahwa Yahudi wajib dihargai sebagai manusia datang dari wilayah Timur Indonesia (69 persen) dan DIY dan Jateng (68 persen).
Berdasarkan data ini, Saiful melihat bahwa ada aspek pada tingkat kebijakan dalam rangka memperkuat kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni melalui pendidikan.
“Orang yang berpendidikan lebih baik cenderung akan lebih inklusif dalam melihat manusia dengan beragam latar belakang,” simpulnya.
Survei SMRC ini dilakukan secara tatap muka pada 10-17 Mei 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah Berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden.
Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1060 atau 87 persen. Sebanyak 1060 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar sekira 3,07 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. (TIM/RN)
Komentar