oleh

Menjadi Garam dan Terang

Hari ini Gereja memasuki Hari Minggu Biasa V dalam penanggalan liturgi tahun A. Bacaan Injil suci hari ini diwartakan dari teks Injil Matius 5:13-16 tentang garam dan terang dunia. Suatu pengajaran Yesus yang tidak asing lagi bagi kita. Injil Matius sebagaimana dialamatkan kepada para pendengar dan pembaca Kristen-Yahudi, memerlihatkan banyak acuan yang diambilnya dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Kendati demikian, Injil Matius bukanlah Injil yang mengeksklusifkan jemaat Kristiani-Yahudi. Matius malahan membangun suatu model kabar gembira yang berwawasan universal. Salah satunya melalui pengajaran Yesus tentang garam dan terang. “Kamu adalah garam bumi….. terang dunia [kosmos]….. Di depan orang [anthrõpoi].

Warta Injil Matius hari ini kian menarik untuk direnungkan sebab pengajaran perihal menjadi garam dan terang ini mengikuti serangkaian ucapan bahagia [bdk. Mat. 5:1-12]. Dalam struktur narasi Injil Matius, ucapan bahagia yang diikuti pengajaran tentang garam dan terang adalah awal warta programatis Yesus. Yesus mulai menjabarkan rangkaian, tindakan dan maksud pewartaan-Nya. Mari kita merenungkan apa maksud menjadi garam dan terang dunia.

Garam dan terang adalah bahasa simbolis yang dipakai Yesus untuk menjelaskan bagaimana para murid harus hidup terutama dalam panggilan dan perutusan mereka. Di dalam dunia kuno [bdk. Sir 29:26] bahkan hingga hari ini, garam adalah kebutuhan pokok dalam keseharian hidup manusia. Dalam konteks Kitab Suci dan juga keseharian hidup kita, garam dipakai sebagai penyedap, pengawet bahkan untuk memurnikan [2Raj 2:19-22]. Garam juga dipakai dalam kegiatan liturgis [bdk. Kel. 30:35; Im. 2:13; Yeh. 43:24; Ezr. 6:9]. Garam juga bermanfaat bagi kesuburan tanah.

Teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama yang berhubungan dengan penggunaan garam ini menyiratkan betapa garam menjadi amat penting dalam tatanan hidup keseharian manusia dalam relasinya dengan sesama manusia, dengan alam lingkungan hidup sekitar termasuk juga dalam relasinya dengan unsur-unsur adikodrati. Menariknya Yesus menghendaki agar para murid harus menjadi garam. Suatu bahasa simbolis bagaimana para murid harus menjadi pembawa citarasa sebagai murid-Nya di dalam dunia.

Sehubungan dengan keharusan menjadi garam, ada dua hal yang sesungguhnya menjadi maksud utama Yesus. Pertama, sebagai garam, para murid menjadi orang-orang yang memberikan citarasa dan kesedapan sebagai murid Kristus dalam perutusan di tengah dunia. Kedua, citarasa itu hanya bisa dinikmati tanpa benar-benar terlihat. Artinya para murid perlu meresapi dunia dengan tindakan-tindakan seturut ajaran Kristus tanpa harus terlihat. Hadir tanpa perlu terlihat. Sebagaimana kata-kata Yohanes Pembaptis, “Biarlah Ia makin besar dan aku makin kecil” [Bdk. Yoh. 3:30]. Para murid harus lebih mengutamakan citarasa Kristus daripada citarasa diri sendiri.

Tuntutan menjadi garam juga diikuti dengan kata-kata peringatan dan penghakiman yakni bilamana garam itu menjadi tidak asin lagi. Hanya garam yang memberi rasa asin. Bila garam tidak lagi asin, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada. Jika demikian, memang hanya dibuang dan diinjak-injak orang [Bdk. Mat. 5:13]. Sebagai bahasa simbolis, Yesus tahu betul bahwa garam juga bisa menjadi tawar ketika garam itu larut.

Bahasa peringatan dan penghakiman itu dapat dimaknai dalam arti ini. Tuntutan hidup para murid sebagai garam bisa saja menjadi tawar tatkala larut di dalam aneka tantangan dan penganiayaan yang sedang dan akan mereka alami. Yesus mengingatkan agar di tengah situasi demikian mereka tidak boleh kehilangan citarasa sebagi murid-murid-Nya. Mereka telah memilih menjadi garam Kristus bagi dunia. Maka mempertahankan citarasa-Nya adalah pilihan yang tak terhindarkan. Bila larut maka sia-sialah pilihan itu. Menjadi pengikut Kristus memerlukan komitmen, konsistensi dan siap menanggung segala beban dan risiko.

Di pihak lain, para murid dituntut menjadi terang dunia. Hal yang menarik di sini adalah Matius memperjelas pengajaran ini dengan metafora kota di atas gunung dan pelita di atas kaki dian. Penggunaan locus gunung berulang lagi di sini setelah sebelumnya ajaran delapan Sabda Bahagia diwartakan Yesus dari atas bukit. Dalam Perjanjian Lama, gunung, bukit dan tempat-tempat tinggi menjadi simbol kehadiran dan otoritas Yahweh atau Allah sendiri. Misalnya peristiwa Sinai [bdk. Kel. 19-20]. Kota di atas gunung juga menjadi gambaran geografis kota-kota di Palestina yang berada di atas gunung.

Pertanyaan yang muncul, mengapa ajaran menjadi terang justru diperjelas dengan metafora kota di atas gunung dan pelita di atas kaki dian? Sebagaimana kota di atas gunung itu tidak mungkin tersembunyi dan pelita di atas kaki dian menyinari seluruh ruangan, para murid juga harus menunjukkan terang bagi dunia. Tekanan penting di sini ialah terang Kristus bukan terang diri sendiri.

Para murid melalui kesaksian hidup mereka, harus terus memancarkan terang Kristus yang menarik segala penjuru dunia untuk datang pada terang itu. Di sinilah kita memahami mengapa gunung atau tempat tinggi yang dipakai Matius itu sebagai metafora bagi otoritas Kristus yang berdaya pikat. Kesaksian hidup para murid harus menjadi daya tarik perhatian bangsa-bansa untuk datang menjumpai keselamatan di dalam Kristus. Terang itu memancarkan cahaya ke seluruh dunia. Matius memainkan konstruksi warta keselamatan yang memikat antara para murid sebagai “Israel baru” dan bangsa-bangsa sebagai simbol universalitas keselamatan.

Kesaksian hidup para murid sebagai terang semata-mata untuk menampilkan kebaikan-kebaikan Allah sendiri. Dengan demikian perutusam mereka bukan lagi untuk menunjukkan diri sendiri melainkan sebagai sarana agar orang melihat kehadiran Allah. Sebagaimana pelita di atas kaki dian diperlukan agar seluruh ruangan terang oleh cahaya, demikian pula para murid menjadi “pelita di atas kaki dian” agar semua orang melihat dan hidup di dalam terang Allah sendiri. Terang itu adalah perbuatan-perbuatan baik [ta kala erga] seturut ajaran Kristus.

Dari warta Injil Matius ini, kita melihat kembali diri kita sebagai murid-murid Kristus masa kini. Sejauh mana kita telah hidup sebagai garam dan terang bagi dunia. Sekurang-kurangnya dari lingkungan hidup sekitar kita. Dari dalam keluarga, lingkungan hidup bertetangga, lingkungan bermain, lingkungan belajar, lingkungan kerja dan pelayanan serta dalam masyarakat luas.

Apakah kita sudah menjadi garam yang sungguh-sungguh memberikan citarasa Kristiani? Atau malah menjadi hambar dan terbuang karena larut dalam banyak tantangan dan kesulitan hidup? Apakah kita justru berusaha menjadi terlihat dan butuh apresisasi setelah berkontribusi? Sejauh mana kita sudah menjadi terang Kristus? Apakah kita justru menyimpan terang itu bagi diri sendiri? Atau malah mati-matian mencari dan mencuri popularitas dengan “memanfaatkan” terang Kristus itu? Jika demikian, kita perlu merenungkan lagi kata-kata St. Paulus ini. “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” [Gal. 2:20]. Salve in Christo.

 

Oleh:: Frater Gabriel A I Benu
[Calon Imam Keuskupan Agung Kupang]

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *